Apakah gerakan Papua Merdeka mendapatkan dukungan dari politisi dan pejabat pemerintah Belanda?
Untuk mencari jawaban atas pertanyaan kunci itu, pada akhir Juli 2019, di wilayah Utrecht yang terletak sekitar 65 km ke arah timur dari Den Haag, saya menemui salah satu tokoh senior Papua di Belanda bernama Frat untuk mencari jawaban berdasarkan perspektif dari seorang warga asli Papua, yang sudah bermukim di Belanda lebih dari 30 tahun.
Saya cukup kaget dengan jawaban-jawaban tegasnya, yang singkat, tak terduga dan bahkan terkesan nyelekit, yang dirangkum dalam bentuk pointer berikut:
Pertama, secara politik, Pemerintah dan sebagian besar pejabat Belanda lebih tertarik pada upaya Indonesia membangun Papua dibanding ketertarikannya terhadap upaya sebagian kecil komunitas Papua di Belanda yang terus berjuang untuk kemerdekaan Papua.
Alasannya, karena komunitas Papua di Belanda tidak memiliki potensi ekonomi yang signifikan. Sebagian besar dari mereka menjalani kehidupan keseharian dengan mengandalkan dana sosial atau pensiun, yang jumlahnya hanya cukup untuk hidup, yaitu sekitar 1.200 s.d 1.400 Euro.
Kedua, saat ini diperkirakan ada sekitar 300-an total komunitas Papua di Belanda, termasuk anggota keluarganya. Jumlah ini adalah mereka yang benar-benar asli Papua dari segi postur (kulit hitam dan rambut kriting). Sebagian lainnya peranakan, baik perkawinan antara orang Papua dengan suku lain di Indonesia, ataupun pernikahan orang Papua dengan orang Belanda (Terkait angka 300-an total komunitas Papua di Belanda tersebut, masih perlu dicross-check untuk mendapatkan kepastiannya).
Ketiga, bahwa sangat kecil kemungkinan bahkan nyaris mustahil akan ada Dewan Kota di Belanda yang akan memberikan penghargaan seperti yang dilakukan oleh Dewan Kota Oxford kepada Benny Wenda. Saat ini, tidak ada lembaga resmi di Belanda ataupun pejabat negara yang terang-terangan mendukung perjuangan Papua Merdeka. Alasannya karena sebagian besar komunias Papua di Belanda tidak memiliki kapasitas atau keunggulan yang bisa diandalkan dan menguntungkan pemerintah Belanda.
Keempat, Bahwa karakter dasar dari pola berpikir dan berkegiatan warga Papua di Belanda cenderung bersifat “nomad politic (politik nomaden). Tidak memiliki disiplin dalam menjalankan management oganisasi. Mereka gampang membentuk organisasi namun tidak tahu merawatnya. Begitu organisasi baru dibentuk, mereka meninggalkan organisasi yang lama.
Kelima, Kegiatan-kegiatan pendukung KSP, seperti pengibaran bendera, berpartisipasi dalam event-event keramaian, sebenarnya lebih bersifat hiburan bagi orang Papua. Karena menurut FA, warga Papua di Belanda tidak memiliki harapan lain kecuali bernostalgia dengan ilusi kemerdekaan.
Keenam, kegiatan-kegiatan propaganda yang dari waktu ke waktu dilakukan oleh beberapa kelompok komunitas Papua di Belanda, yang kemudian dipublikasikan melalui berbagai platform media sosial, sebenarnya sangat menipu warga Papua yang berdomisili di Papua.
Sebab publikasi Medsos itu akan dianggap sebagai sesuatu yang besar, namun sebenarnya tidak memiliki pengaruh politik signifikan terhadap perjuangan Papua secara umum. Publikasi medsos itu hanya memberikan keuntungan popularitas bagi tokoh-tokoh KSP di luar negeri, namun tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap kehidupan warga Papua di dalam negeri.
Ketujuh, hampir semua aksi yang dilakukan oleh komunitas Papua di Belanda hanya dihadiri belasan orang. Itupan kadang hanya diikuti satu-dua keluarga. Artinya, bahkan orang-orang Papua sendiri di Belanda, sudah tak lagi peduli dengan aksi-aksi yang menutut Papua merdeka, sambil mengibarkan bendera Bintang Kejora.
Kesimpulannya sederhana: komunias Papua dan keturunannya di Belanda tidak memiliki posisi tawar yang cukup kuat, yang dapat digunakan modal untuk meminta dan mendapatkan dukungan dari Pemerintah Belanda. Namun seandainya pun komunitas Papua di Belanda memiliki kapasitas dan posisi tawar, Pemerintah Belanda juga akan berhitung seribu kali untuk memberikan dukungan terbuka kepada gerakan Papua Merdeka.
Benny Lapago, 03 Agustus 2019