Pada Nopember 2019, di kalangan komunitas Papua di Belanda muncul wacana terkait praktek dan aksi tipu-tipu antara sesama warga Papua di Belanda. Wacana itu kemudian disingkat dalam sebuah istilah: PATIPA (Papua Tipu Papua).
Seorang tokoh Papua di Belanda menjelaskan lebih detail bahwa makna dan praktek Patipa berlangsung khususnya antara beberapa tokoh Papua yang berdomisili di luar negeri (Belanda, Australia, Inggris, PNG dan beberapa negara Pasifik lainnya), yang menipu dan membohongi orang-orang Papua di dalam negeri, dengan informasi yang salah dan/atau klaim yang berlebihan, contohnya.
1. Jika berbicara dengan para tokoh aktivis Papua di luar negeri, mereka akan bersemangat mengklaim bahwa kemederkaan Papua sudah dekat, dengan argumen bahwa banyak tokoh di luar negeri yang mendukung Papua merdeka. Padahal tokoh-tokoh luar negeri yang mendukung Papua merdeka, jikapun benar ada, bukanlah tokoh yang bisa menentukan bisa/tidaknya Papua merdeka. Tokoh Papua di luar negeri ingin dianggap sukses memperjuangkan masalah Papua. Dan ini merupakan bagian dari Patipa (Papua Tipu Papua). Papua di luar negeri menipu Papua di dalam negeri.
2. Selama beberapa tahun terakhir, sejumlah aktivis Papua pada bulan September setiap tahun berkunjung ke New York pada saat penyelenggaraan Sidang Umum PBB. Mereka membonceng delegasi dari negara tertentu (misalnya Vanuatu). Lantas tokoh-tokoh Papua itu mengklaim bahwa PBB sudah membahas referandum Papua. Padahal, satu mata agenda pembahasan di SU PBB baru bisa diterima, jika diusulkan minimal 2/3 negara anggota PBB. Itupun baru sekedar diagendakan, belum dibahas. Dan seperti diketahui, terdapat sebanyak 193 negara anggota PBB. Dengan kata lain, agar masalah referendum Papua dapat diagendakan di SU PBB harus didukung paling sedikit 129 negara. Dan berdasarkan konstelasi politik di lingkungan PBB, hampir mustahil akan ada 128 negara yang mendukung referandum Papua. Karena itu, pernyataan bahwa PBB telah mengagendakan referandum Papua adalah kebohongan besar, mimpi besar atau lebih tepatnya PATIPA (Papua Tipu Papua). Dan sialnya, banyak orang Papua di luar negeri dan terutama di dalam negeri tidak memahami fakta dan konstelasi politik internasional seperti ini.
3. Ada beberapa tokoh Papua di luar negeri yang terus aktif mendekati LSM, polisitisi dan tokoh di negara tertentu, untuk mempromosikan isu Papua, dengan cara “menjual” masalah HAM, hak historis dan klaim ketertindasan orang Papua di wilayah Papua. Tujuannya untuk mendapatkan dukungan finansial. Tapi, dalam banyak kasus, bantuan finansial tersebut digunakan untuk kepentingan pribadi, bukan untuk kepentingan orang Papua secara umum. Dan tindakan seperti ini jelas-jelas merupakan bentuk nyata Patipa (Papua Tipu Papua).
4. Untuk kasus komunitas Papua di Belanda, jika melakukan aksi, pesertanya hanya belasan orang. Dan umumnya berasal dari satu keluarga/marga. Namun mereka mempublikasikan foto-foto aksi dan dikesankan sebagai sebuah aksi besar, karena misalnya dilakukan di depan (di luar pagar) gedung tertentu yang memiliki daya jual internasional, misalnya gedung parlemen Belanda atau gedung Peace Palace. Bagi warga Papua di dalam negeri, ketika melihat foto-foto aksi tersebut, mungkin akan menilainya sebagai aksi besar. Padahal sebenarnya tidak. Sebab sekali lagi, peserta aksinya hanya belasan orang. Dan ini juga merupakan bentuk PATIP (Papua Tipu Papua).
5. Beberapa aktivis Papua di Belanda memposisikan aksi Global Flag Raising (GFR) sebagai kegiatan yang didukung oleh ribuan orang. Padahal, aksi GFR tahun-tahun sebelumnya hanya diikuti oleh beberapa (belasan) orang saja di setiap titik di berbagai negara. Aktivis Papua di Belanda mengklaim dan membohongi warga Papua di dalam negeri bahwa gerakan Papua di Belanda telah mendapatkan dukungan banyak orang. Padahal tidak benar sama sekali. Dan ini juga merupakan bentuk Papua Tipu Papua (Patipa).
Benny Lapago
Den Haag, 26 Nopember 2019