Home Geography “Refleksi Kritis Sejarah Kontemporer Papua” Oleh Freddy Numberi

“Refleksi Kritis Sejarah Kontemporer Papua” Oleh Freddy Numberi

1059
0

(artikel ini disampaikan dalam acara Webinar Bappenas yang bertajuk “Diskusi Kebijakan Strategis tentang Papua: Meluruskan Masa lalu, Menatap Masa Depan” pada 29 Juni 2020)

  1. Latar Belakang

Hindia Belanda (Nederlands-Indië) yang kemudian dimerdekakan pada 17 Agustus 1945 sebagai Republik Indonesia pada abad ke-17 dan 18 tidak dikuasai langsung oleh Pemerintah Belanda, melainkan oleh perusahaan kongsi dagang Belanda yaitu Perusahaan Hindia Timur (Verenigde Oostindische Compagnie/VOC). Pada tanggal 20 Maret 1602 VOC didirikan, dan oleh Parlemen Belanda, VOC diberikan hak monopoli perdagangan dan aktivitas kolonial di wilayah Hindia Belanda. Pada tahun yang sama, tepatnya bulan Maret, VOC berusaha memonopoli perdagangan di wilayah itu juga.1

Melalui suatu proses panjang, akhirnya pada tahun 1619, markas VOC yang awalnya berada di Banten dipindahkan ke Jayakarta oleh Jan Pieterszoon Coen (Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-4), yang kemudian Jayakarta diubah namanya menjadi Batavia (Jakarta).

Selain menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda (periode 1619 -1623 dan 1627-1629), J.P. Coen juga dikenal sebagai pembesar VOC yang sangat berpengaruh di Hindia Belanda. Dia tidak segan-segan, menggunakan kekerasan untuk memperkokoh kekuasaannya dan menghancurkan semua pihak yang menghalangi. Contohnya di Kepulauan Banda, J.P. Coen membantai ribuan masyarakat setempat yang melakukan perlawanan hanya untuk memonopoli rempah-rempah.2

Selama VOC berada di Hindia Belanda, demi memperkokoh hegemoninya di wilayah ini, mereka melakukan kekerasan dan menganiaya rakyat setempat serta berperang tidak hanya dengan masyarakat lokal, tetapi juga dengan pihak Portugis dan Inggris.

VOC sejak dibentuk 20 Maret 1602 hingga 31 Desember 1799 tidak pernah menguasai koloni Papua secara fisik. Setelah VOC menaklukan Tidore, Ternate dan Bacan tugas pengawasan koloni Papua diberikan kepada Kesultanan Tidore. Baik VOC maupun Kesultanan Tidore tidak pernah menguasai secara fisik pulau disekitar utara maupun pulau besar Papua sendiri. Kebutuhan rempah-rempah maupun budak diambil dari sekitar Misool, Waigeo dan sekitarnya.

Tanggal 31 Desember 1799, VOC diambil alih oleh Pemerintah Kerajaan Belanda dan diserahkan kepada Pemerintah Hindia Belanda di Batavia. Halhal yang menjadi alasan dibubarkannya VOC3 yaitu : (1) Banyak anggota VOC yang korupsi; (2) VOC tidak mampu bersaing dengan Inggris dan Perancis; (3) VOC makin merugi tetapi dividen masih tetap diberikan kepada pemegang saham; (4) Terjadi peperangan melawan Inggris (17801784) yang dimenangkan oleh Inggris, dan VOC telah banyak mengeluarkan biaya perang. VOC meninggalkan hutang sebesar Nfl 136,7 juta gulden.

  1. Pemerintah Hindia Belanda

Setelah VOC bangkrut dan dibubarkan pada 31 Desember 1799, semua aset-aset VOC termasuk wilayah kekuasaannya diserahkan kepada Gubernur Jendral Gerardus Van Overstraten di Batavia. Wilayah-wilayah itu kemudian diatur dalam undang-undang Pemerintah Hindia Belanda maupun struktur pemerintahannya. Koloni Papua belum termasuk.

Pada tanggal 17 Maret 1824 Inggris, Jerman dan Belanda menandatangani Traktat London tentang pembagian Pulau Besar Nieuw Guinea, dimana Belanda mendapat bagian barat (West Nieuw Guinea), Inggris mendapat bagian selatan dan Jerman mendapat bagian utara (Finschhafen).

Pada tahun 1828, Raja Belanda Willem I (16 Maret 1815 – 7 Oktober 1840) mengingatkan kepada Gubernur Jendral L.P.J du Bus de Gisigness di Batavia setelah adanya Traktat London 1824:4

“Apakah secara de facto maupun de jure pulau besar koloni West Nieuw Guinea telah dikuasai?”

Setelah Gisigness menjawab “belum”, maka Raja Willem I memberikan surat “machtiging” (kuasa) untuk segera menduduki pulau koloni West Nieuw Guinea tersebut. Surat “machtiging” selanjutnya diturunkan kepada Gubernur P. Merkus di Ambon, untuk segera mengirim ekspedisi ke koloni Papua atas nama Raja Belanda. Ekspedisi itu diberi nama “Ekspeditie Nieuw Guinea”5 (empat tahun kemudian setelah Traktat London 1824) dipimpin oleh wakil resmi pemerintah Belanda Komisaris Arnold Johannes Van Delden sebagai pimpinan seluruh operasi.

Kapal-kapal yang ikut mendukung ekspedisi ini adalah Kapal Perang   Zr. Ms. Korvet Triton (kapal layar bertiang tiga), Zr. Ms. Schoener Iris (kapal layar bertiang dua) dan de Brik Siewa (kapal layar bertiang satu).

Saat itulah untuk pertama kalinya (pos pertama Belanda) menginjakkan kakinya secara resmi (de facto) di bumi koloni Nieuw Guinea dan secara hukum (de jure) mengeluarkan Piagam Proklamasi6 yang ditandatangani Van Delden atas nama Raja Belanda Willem I pada ulang tahun Raja Belanda tanggal 28 Agustus 1828.

Piagam Proklamasi ini menjelaskan bahwa wilayah koloni Papua adalah wilayah koloni milik Belanda diseberang lautan, yang kekuasaannya dilimpahkan kepada Pemerintah Kolonial Hindia Belanda di Batavia (117 tahun sebelum Hindia Belanda dimerdekakan sebagai Republik Indonesia), setelah dimasukkan dalam Grond wet (UU Dasar) Belanda.

Teluk dimana ketiga kapal ini berlabuh diberi nama “Teluk Triton” sesuai dengan nama Kapal Korvet Triton. Tempat mereka turun ke darat diberi nama Merkusoord untuk mengenang Gubernur P. Merkus yang berada di Ambon. Untuk melindungi mereka dari ancaman serangan masyarakat setempat, dibangunlah benteng (fort) yang dinamakan Fort du Bus untuk mengenang Gubernur Jenderal L.P.J. du Bus de Gisignies di Batavia.

Status wilayah koloni Nieuw Guinea yang berada dibawah administrasi pemerintahan Hindia Belanda di Batavia semakin diperkokoh dalam Staatsblad van Nederlands-Indië tahun 1885 nomor 2 (60 tahun sebelum wilayah koloni Hindia Belanda ini merdeka dengan nama Republik Indonesia). Sedangkan wilayah koloni Hindia Belanda lainnya tidak memiliki piagam proklamasi, karena Pemerintah Belanda hanya menerimanya sebagai limpahan (overflow) dari VOC.

Satu-satunya koloni yang memiliki dasar Proklamasi atas nama Raja Belanda hanya koloni West Nieuw Guinea diseluruh Hindia Belanda (Nederlands-Indië).

  1. Menuju Indonesia Merdeka

a. Tonggak Perjalanan Waktu

Dilihat dari tonggak sejarah perjalanan waktu dibawah penjajahan kolonial Hindia Belanda, dapat disimpulkan bahwa:

  • VOC menguasai Indonesia selama 197 tahun sejak 20 Maret 1602 hingga 31 Desember 1799.
  • Pemerintah Hindia Belanda menguasai Indonesia selama 150 tahun sejak 31 Desember 1799 hingga 27 Desember 1949.
  • Koloni West Nieuw Guinea secara resmi dikuasai imperium Belanda selama 125 tahun sejak 24 Agustus 1828 hingga 1 Mei 1963.

Koloni Papua awalnya hanya digunakan sebagai tempat pembuangan bagi mereka yang diberi stigma “ekstrimis” dan tokoh-tokoh politik Indonesia yang menentang Pemerintah Belanda.7 Daerah Digul/Merauke dipilih karena 100% dan letak geografisnya yang jauh dari pusat pemerintahan di Batavia. Alam dan lingkungannya yang buas juga dihuni oleh penduduk asli yang buas pula. Dalam istilah orang Belanda, penduduk tersebut dinamakan “koppen snijers” atau tukang potong “kepala manusia” dan “mensen eters” atau tukang makan “manusia”.

Saat perjuangan panjang melawan penjajahan kolonial Belanda untuk mencapai Indonesia yang merdeka tidak sedikit rakyat Indonesia yang disiksa, dibunuh, desa-desanya di bumihanguskan oleh aparat keamanan Belanda demi mempertahankan kekuasaannya di Hindia Belanda.

“Akar kekerasan pasca Indonesia merdeka merupakan warisan Kolonial Belanda (reservoir van geweld) untuk menganiaya orang Indonesia dan menjadi budaya kekerasan selanjutnya”.8

Pada 28 Mei 1985, di Jawa dibentuk suatu komisi persiapan kemerdekaan dimana Soekarno dan Hatta ditunjuk sebagai pimpinan. Menteri Luar Negeri Jepang Mamoru Shigemitsu tanggal 17 Juli 1945 mengumumkan bahwa segera umumkan negara-negara yang ingin merdeka. Kemudian pada 7 Agustus Marsekal Terauchi pimpinan tertinggi di Saigon mengumumkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang bebas dan merdeka. Kemudian pada tanggal 15 Agustus 1945 naskah teks proklamasi dibantu Laksamana Madya (Schout bij Nacht) Maeda untuk persiapannya.9

Dengan bantuan Jepang, akhirnya Indonesia bisa memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, meskipun pada saat itu belum ada pengakuan resmi dari Pemerintah Belanda.

Dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) tanggal 23 Agustus 1949 hingga 2 November 1949 di Den Haag Belanda, diputuskan bahwa Belanda harus mengakui kedaulatan Indonesia atas wilayah jajahan Hindia Belanda sebagai Indonesia yang merdeka dan berdaulat selambatlambatnya hingga 30 Desember 1949. Belanda pun harus meninggalkan Indonesia kecuali Irian Barat (Nieuw Guinea/Papua) karena masih status quo (sesuai perjanjian KMB) dan akan diserahkan 1 tahun kemudian setelah penyerahan kedaulatan kepada Indonesia.

Pada tahun 1950, 1951 dan 1952 Indonesia telah berusaha merundingkan masalah Irian Barat, tetapi setiap kali ditolak seperti juga yang diadakan 1954 ini dalam rangka pembubaran Uni Indonesia Belanda.

Akhirnya Indonesia hanya meminta agar diadakan perundingan kembali dengan anjuran dan dorongan PBB agar Belanda dan Indonesia mau berunding kembali dibawah pengawasan PBB.

b. BPUPKI 10

Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dibentuk oleh Pemerintah Jepang, menjelang kejatuhan Jepang Agustus 1945.

Dalam sidang pembahasan Dasar Negara dan Wilayah Negara yang akan dimerdekakan sebagai Republik Indonesia (10 juli 1945-17 Juli 1945) terjadi perdebatan karena danya perbedaan pendapat. Hal ini dijelaskan oleh Prof. Mr. Muh. Yamin dalam bukunya “Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945,” tahun 1959 (Djilid I, II, III).

Djilid I sangat rinci dan spesifik tentang masalah Dasar Negara 17 Agustus 1945 maupun Wilayah Negara Indonesia.

Hasil “voting” (pemungutan suara) yang demokratis akhirnya disimpulkan bahwa Papua termasuk dalam wilayah koloni jajahan Hindia Belanda (Nederlands-Indië). BPUPKI beranggotan 67 orang, terdiri dari 60 orang yang dianggap tokoh dari Indonesia dan 8 orang dari Jepang serta keturunan Indonesia lainnya tanpa hak suara. Kemudian Pemerintah Jepang menambah 6 orang lagi anggota (bangsa Indonesia).

Ketua rapat adalah DR. K.R.T Radjiman Widiodiningrat dan Wakil Ketua ditunjuk R.P. Soeroso. Disini penulis hanya menggaris bawahi apa yang berulang kali dikatan pada rapat tersebut tentang status koloni Papua, sebagai berikut: Anggota Hatta: “…..Hanya tentang Papua saya dengar kemarin uraian-uraian yang agak menguatirkan, oleh karena dapat timbul kesan keluar, bahwa kita seolaholah mulai dengan tuntutan yang agak imperialistis” (hal. 201).

Anggota Hatta: “Pendirian saya, bagi saya Hindia Belanda minus Papua, tetapi saya tidak ada keberatan kalau rakyat Malaka mau masuk Indonesia. Tetapi pendapat saya ialah Hindia Belanda dahulu minus Papua” (hal. 212).

Wakil Ketua Soeroso: “Kalau begitu ada 4” (hal. 212).

Anggota Ki Bagus Hadikusumo: “Menurut yang saya dengar dari semua, sesungguhnya ada perbedaan faham tentang Papua, Tentang Malaya kita sudah sependapat” (hal.212).

Ketua Radjiman: “Saya kira untuk tepatnya, baiklah segera kita setem (voting) saja” (hal. 213). Ketua Radjiman: “Saya ulangi lagi, tuan-tuan anggota, bagian yang diusulkan ialah: 1) Hindia Belanda dahulu 2) Hindia Belanda dahulu, Malaka, Borneo Utara, Papua, Timor dan kepulauan sekelilingnya” (hal. 214).

Anggota Hatta: “Ada satu lagi: Hindia Belanda dahulu ditambah Malaka dipotong Papua” (hal. 214).

Wakil Ketua Soeroso: “Sekarang diangkat Komisi, terdiri dari 3 orang. Tuan-tuan Oto Iskandardinata, Abikusno dan Latuharhary” (hal. 214).

Ketua Radjiman: “Saya mengucapkan terima kasih kepada komisi. Dan saya tetapkan pada saat ini, para anggota yang terhormat, yang diputuskan, yang disahkan hari ini oleh persidangan, yaitu bahwa daerah yang masuk Indonesia Merdeka: Hindia Belanda dulu, ditambah dengan Malaya, Borneo Utara, Papua, Timor Portugis dan kepulauan sekitarnya” (hal. 214). (Peserta sidang tepuk tangan).

Inilah proses secara demokratis menentukan wilayah Hindia Belanda (Nederlands-Indië) yang dimerdekakan sebagai Republik Indonesia, tanggal 17 Agustus 1945.

  1. Resolusi PBB 1514 (XV) – Dekalarasi tentang Pemberian Kemerdekaan kepada Negara Kolonial dan Masyarakat, 14 Desember 1960.

Sebelum masuk pada New York Agreement 15 Agustus 1962, The Rome Joint Statement 20-21 Mei 1969, maupun PEPERA Juli-Agustus 1969. Belanda juga mulai mempertimbangkan Resolusi PBB nomor 1514 (XV), tanggal 14 Desember 1960, dimana dengan adanya resolusi ini banyak negara yang dijajah menuntut kemerdekaannya dari negara induknya (penjajah).

Belanda sebagai penguasa wilayah koloni Hindia Belanda harus mengakui kemerdekaan Indonesia dan juga harus melepas koloni Papua sebagai bagian dari jajahannya dalam wilayah Hindia Belanda.

Belanda juga telah menandatangani Atlantic Charter Agustus 1941, yang antara lain mengatakan bahwa:

– Zaman imperialisme telah berakhir.

– Hak kemerdekaan manusia harus diakui.

Hal tersebut diatas, diungkapkan oleh Dr. H.J. Van Mook11 bahwa dengan demikian pengakuan kedaulatan Indonesia merdeka meliputi seluruh wilayah koloni Hindia Belanda (Nederlands-Indië) termasuk Papua.

Dalam Resolusi 1514 (XV), 14 Desember 1960 semua negara anggota PBB mendesak agar negara-negara jajahan kolonial harus dimerdekakan termasuk Indonesia. Proses dekolonisasi ini termasuk wilayah Hindia Belanda dengan koloni-koloninya, termasuk koloni Papua sebagai bagian daripada koloni Hindia Belanda.

  1. Menuju Resolusi 2504 (XXIV)

a. Memorandum Menteri Luar Negeri Belanda J.H. Luns

Dalam Proses pengembalian Irian Barat (Papua) kepada Indonesia, baik secara diplomasi maupun tekanan kekuatan militer banyak membuahkan hasil. Hal ini tercermin dari Memorandum Menteri Luar Negeri Belanda Luns kepada Under Secretary Amerika Serikat (AS) John Foster Dulles, tanggal 1 Oktober 1958 yang intinya:

  • Agar pemerintah AS mengingatkan Indonesia tentang masalah HAM dan prinsip-prinsip hukum internasional agar keamanan orang Belanda dan kepentingannya di Indonesia terjaga.
  • AS agar berkomitmen untuk tidak menjual senjata kepada Indonesia yang bisa digunakan untuk menyerang Netherlands Nieuw Guinea.
  • Agar perwakilan AS pada North Atlantic Organization (NATO) menekankan kepada negara-negara anggota untuk tidak menjual senjata berat kepada Indonesia.
  • Berkaitan dengan Netherlands Nieuw Guinea, agar AS segera membuat policy yang menentang Indonesia dalam penggunaan kekuatan militer terhadap integritas Netherlands Nieuw Guinea. Jika terjadi agresi militer, diharapkan AS mengambil segala tindakan yang memungkinkan untuk mendukung Belanda.

Kemudian J.F. Dulles membuat pernyataan bahwa dari hasil pembicaraannya dengan pejabat di Indonesia, baik perdana menteri, menteri luar negeri maupun pejabat resmi lainnya dikatakan bahwa Indonesia tidak akan menggunakan kekuatan terhadap Papua.

b. Dukungan Uni Soviet

Dalam proses perebutan Papua, Indonesia memperkuat kekuatan militernya. Hal ini dikarenakan Indonesia gagal dalam proses diplomasi internasional terutama di PBB. Fakta ini membuat Bung Karno marah dan mengambil langkah-langkah drastis.

Pada bulan Desember 1960, Bung Karno menugaskan Jenderal A.H. Nasution ke Moskow, Uni Soviet dan berhasil membuat perjanjian jualbeli senjata senilai 2,5 miliar dollar Amerika dengan persyaratan pembayaran jangka panjang.

Pada saat itu diakui bahwa Indonesia memiliki kekuatan militer terkuat di Asia Tenggara. Pada April 1961, Robert Komer (penasihat keamanan AS) dan McGeorge Bundy (pimpinan keamanan nasional AS) mempersiapkan rencana agar PBB menyerahkan Papua kepada Indonesia secara legal.

Presiden John F. Kennedy akhirnya mendukung hal ini karena iklim Perang Dingin (1949-1991) saat itu yang mengkhawatirkan jika sampai terjadi perang antara Belanda dan Indonesia, maka seluruh kawasan Asia Tenggara akan menjadi komunis.

Dengan bantuan Uni Soviet, Indonesia membeli berbagai macam peralatan militer diantaranya 41 helikopter MI-4 (angkutan ringan), 9 helikopter MI-6 (angkutan berat), 30 pesawat jet MiG-15, 49 pesawat buru sergap MiG-21, 12 kapal selam kelas Whiskey, puluhan korvet, dan 1 buah kapal penjelajah kelas Sverdlov (yang diberi nama sesuai target operasi yaitu KRI Irian).

Dari jenis pesawat pengebom, terdapat sejumlah 22 pesawat pembom ringan Ilyushin II-28, 14 pesawat pembom jarak jauh TU-16, dan 12 pesawat TU-16 versi maritim yang dilengkapi dengan persenjataan peluru kendali anti kapal “air to surface” jenis AS-1 Kennel. Sementara dari jenis pesawat angkut terdapat  26  pesawat  angkut  ringan  jenis  IL-14  dan  AQvia-14,  6  pesawat angkut berat jenis Antonov An-12B buatan Uni Soviet dan 10 pesawat angkut berat jenis C130 Hercules buatan AS.

Untuk mencapai keunggulan udara, persiapan-persiapan pertama yang dilakukan AURI adalah memperbaiki pangkalan-pangkalan udara yang  rusak akibat perang, yang akan dipergunakan untuk operasioperasi  infiltrasi maupun menghadapi operasi terbuka di daratan Irian Barat. Pangkalan Udara dan Landing Strip yang banyak terdapat di sepanjang perbatasan Maluku dan lrian Barat, adalah peninggalan Jepang.

Pangkalan udara dan landing strip tersebut terakhir dipergunakan pada tahun 1945, dan setelah itu sudah tidak dipakai lagi. Keadaan Pangkalan Udara dan Landing Strip tersebut tidak terawat dan banyak yang rusak serta ditumbuhi ilalang dan pohon-pohon.

Pangkalan Angkatan Udara (PAU) dan landing strip yang siap beroperasi tahun 1961, adalah:

  • PAU Morotai (Maluku Utara)
  • PAU Amahai (Maluku)
  • PAU Letvuan (Maluku Tenggara)
  • PAU Kendari (Sulawesi Tenggara)
  • PAU Kupang (NTT)
  • PAU Gorontalo
  • PAU Jailolo (Maluku Utara)
  • PAU Pattimura (Maluku)
  • PAU Liang (Maluku Tengah)
  • PAU Lahat (Sumatera Selatan)
  • PAU Namlea (Maluku)
  • PAU Langgur (Maluku Utara)
  • PAU Dokabarat (Maluku)

Pada tahun 1961, Komando tertinggi militer Belanda dipegang oleh Laksamana Madya (Schout-bij-Nacht) L.E. Reesers. Komando tertinggi ini membawahi satuan-satuan Komando Angkatan Darat (Land Macht) dan Angkatan Laut (Zee Macht). Komando tertinggi Angkatan Udara dipegang sendiri oleh Angkatan Udara (Lucht Macht).

Markas Besar Umum Angkatan Perang Belanda (Algemene Hoofd Kwartier) berada di Hollandia (Jayapura). Markas Besar Operasional (Operationeel Hoofd Kwartier) berada di Biak, termasuk kedudukan Komando ketiga Angkatan Perang.12

Kekuatan Angkatan Perang Belanda akhir tahun 1961 terdiri dari:

– Angkatan Darat Belanda (KL):

  • 1 brigade infantri berasal dari resimen infantri “Oranje Gelderland” dengan 3 batalyon yang ditempatkan di Sorong, Teminabuan, Fakfak, Kaimana dan Merauke.
  • 1 detasemen penangkis serangan udara, kurang lebih 500 personil.
  • Brigade Papua yang diperkirakan pada akhir tahun 1961 baru dibentuk.

– Angkatan Laut Belanda (KM):

  • Kekuatan maritim Belanda berupa: 1 kapal induk, 1 kapal penjelajah, 3 kapal perusak, 2 kapal selam, 10 LST, 2 kapal survei.
  • Corps Mariniers (CM) berupa 1 brigade, terdiri dari 3 batalyon.
  • Marine Luchtvaart Dienst (MLD) berupa 1 skuadron pesawat buru termpur Firefly, 3 pesawat amphibi Catalina, 2 skuadron pesawat intai Martin Mariner, 6 pesawat pembom anti kapal selam Neptune.

Angkatan Udara Belanda (ML):

  • 1 skuadron pesawat buru sergap Hawker Hunter MK VI dengan 6 pesawat siap operasi.
  • 1 flight pesawat helikopter intai.
  • 2 skuadron pesawat angkut Dakota.

Kepolisian Belanda:

  • Polisi Umum (Algemene Politie) sebanyak 1.700 orang. Pos-pos detasemennya terdapat hingga tingkat kecamatan (onder district).
  • Brigade Mobil (Mobiele Politie) dibentuk dalam regu-regu dengan susunan tempur infantri.

Bila disandingkan kekuatan militer yang dimiliki Indonesia dengan Bela nda saat itu, dilihat dari aspek operasi militer maka kekuatan militer yang dimiliki Indonesia lebih unggul.

Disamping itu bila terjadi konflik bersenjata, dukungan logistik Indonesia lebih mudah dicapai karena jaraknya yang dekat ke wilayah operasi, dibandingkan Belanda yang harus mendatangkan dari negeri Belanda.

c. Nota Rahasia Kennedy kepada de Quay13

Setelah Bung Karno kobarkan semangat Trikora 19 Desember 1961 didukung  fakta pertempuran Laut Arafura tanggal 15 Januari 1962 antara Belanda dan Indonesia dimana Komodor Yos Soedarso gugur bersama awak KRI Macan Tutul.

Ini meyakini Presiden John F. Kennedy bahwa Bung Karno sangat serius untuk merebut kembali Papua dari Belanda.  Melihat situasi yang mulai “memanas”, Presiden John F. Kennedy membuat nota rahasia kepada Perdana Menteri Belanda Dr. J.E. de Quay tanggal 2 April 1962 yang intinya:

Ini akan menjadi perang dimana Belanda maupun Barat secara akal sehat tidak dapat memenangkannya. Apapun hasil akhir dari pertempuran militer, posisi dunia bebas di Asia secara keseluruhan akan rusak parah. Hanya pihak komunis yang akan mendapat manfaat sebesar-besarnya dari konflik semacam itu. Jika Angkatan Darat Indonesia berkomitmen untuk melakukan perang habishabisan melawan Belanda, elemen-elemen moderat di dalam Angkatan Darat dan negara akan dengan cepat dihilangkan, dan akan meninggalkan medan yang terbuka untuk masuknya intervensi komunis. Bila dalam situasi ini Indonesia akhirnya menyerah pada komunisme, maka seluruh posisi non-komunis di Vietnam, Thailand, dan Malaysia akan berada dalam bahaya besar, dan seperti yang Anda ketahui, ini adalah wilayah-wilayah dimana kami di Amerika Serikat memiliki komitmen yang besar dan beban terhadap wilayahwilayah ini di Asia.”14

d. Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat)

Pada tanggal 1 Mei 1963 secara de facto Belanda menyerahkan Papua kepada PBB untuk kemudian akan diserahkan kembali “kepemilikan” wilayah ini kepada Indonesia. Dalam masa transisi ini bendera Indonesia secara resmi dikibarkan berdampingan dengan bendera PBB dan Papua berada dibawah pengawasan PBB melalui UNTEA (United Nations Temporary Authority). UNTEA mempunyai tugas untuk Advising, Assisting and Participating persiapan “Act of Self Determination“ (ASD)/tindakan penentuan nasib  sendiri sesuai “international practice”, merujuk Article XVIII butir (d), Article XX dan Article XXI Perjanjian New York 15 Agustus 1962.

Dalam proses lanjut nomenklatur ini dirubah menjadi  “Act of Free Choice” (AFC)/tindakan pilihan bebas, merujuk The Rome Joint Statement (RJS) yang ditandatangani tanggal 21 Mei 1969 antara Belanda dan Indonesia. Pihak Belanda diwakili Menlu Belanda  Luns dan Menteri Kerjasama Pembanguan Udink. Indonesia diwakili oleh Menlu  Adam Malik. Pada butir 2 RJS nomenklatur Act of Self Determination (ASD) dirubah menjadi AFC.

Butir 3 RJS ditegaskan lagi oleh Menlu Adam Malik, mengulangi pernyataan (reiterated) pemerintah RI bahwa AFC akan dilaksanakan sesuai sistem Indonesia yaitu “mutual consultation” (musyawarah) yang merupakan prosedur pelaksanaan terbaik.

Tindakan Pilihan Bebas (AFC) ini kemudian menjadi Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) dilakukan yang prosesnya berlangsung selama Maret – Agustus 1969. Hasil Pepera menunjukkan bahwa Dewan Musyawarah Papua (DMP) yang beranggotakan 1026 orang, mewakili 809.339  penduduk Papua saat itu (sumber: laporan Duta Besar Fernando Ortiz Sanz pada Sidang Umum PBB ke 24 tanggal 19 November 1969) dengan hasil Papua harus dikembalikan pada Republik Indonesia sebagai bagian yang sah dari wilayah Hindia Belanda seperti semula (“… should properly be incorporated abinitio within the boundaries of the new republic”).15

Hasil Pepera ini kemudian  dicatat (taken note) dalam sidang umum PBB ke -24 tanggal 19 November 1969, yang menyatakan antara lain “ …. an act of free choice has taken place in West Irian in accordance with Indonesian practice, in which the representatives of population have expressed their wish to remain with Indonesia”.
Sejak saat itulah Papua dinyatakan resmi masuk kembali ke dalam wilayah Indonesia. Menurut John Saltford16 karena:

  • Jakarta dapat meyakinkan kebanyakan mereka yang dalam pergerakan anti kolonial (convince most of the anti-colonial movement) bahwa Papua sejak dahulu adalah bagian dari pemerintahan Hindia Belanda.
  • Sesuai prinsip utis possidetis juris wilayah Papua adalah milik Indonesia. Bila Belanda memberikan kemerdekaan kepada West New Guinea (WNG) itu adalah tindakan separatis terhadap Indonesia (If the Dutch granted WNG its independence it would be an act of separatism against Indonesia).

Pepera banyak menuai kritikan, terutama dari kalangan internasional maupun dari orang Papua sendiri termasuk mereka yang Diaspora. Bagi mereka, hal ini dikritik karena tidak sesuai Article XVIII butir b New York Agreement 15 Agustus 1962, dalam hal melaksanakan “international practice” menurut mekanisme PBB.

Bagi Papua sendiri, ini suatu perjalanan waktu yang panjang dan melelahkan serta menelan banyak korban jiwa, sejak 24 Agustus 1828 – 1 Mei 1963 (135 tahun) dibawah pemerintahan kolonial Belanda. Wilayah lain di Indonesia dijajah Belanda sejak VOC 20 Maret 1602 diteruskan penjajahannya resmi oleh pemerintah Hindia Belanda hingga 27 Desember 1949 (347 tahun).

  1. Penutup

Nota Rahasia  tertanggal 2 April 1962 ini yang mengubah semua proses untuk mencari solusi damai melalui PBB secara legal dengan menghargai upaya semua pihak dalam sengketa Belanda dan Indonesia. Proses ini dimulai dari:

  1. New York Agreement tanggal 15 Agustus 1962 yang ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri Indonesia Dr. Subandrio dan Duta Besar Belanda J.H. van Roijen serta C.W.A. Schurmann sebagai perwakilan dari Belanda.
  2. Rome Joint Statement tanggal 20-21 Mei 1969 yang ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri Indonesia Adam Malik dan Menteri Luar Negeri Belanda J.M.A.H. Luns serta Menteri Urusan Pembangunan Belanda B.J. Udink.
  3. Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) yang dilaksanakan di Papua mulai Juli-Agustus 1969 dibawah pengawasan PBB melalui UNTEA. PEPERA ini juga banyak menuai kritik. Hasil Pepera ini kemudian dicatat (taken note) dalam sidang umum PBB ke-24 tanggal 19 November 1969.
  4. Resolusi PBB 2504 (XXIV) tanggal 19 November 1969. Sebelum resolusi ini disetujui dan disahkan oleh PBB, negara-negara anggota yang hadir pada Sidang Umum ini, terlebih dahulu membahasnya dalam rapat-rapat pleno hasil PEPERA tersebut. Hasil dari PEPERA ini dibacakan oleh Ortiz Sanz selaku perwakilan resmi utusan PBB kepada Sekjen PBB U Thant. Kemudian dibacakan oleh Sekjen PBB dengan hasil 84 negara setuju, negara yang tidak setuju nihil, 30 negara abstain dan 12 negara tidak hadir, kemudian disahkan menjadi Resolusi PBB No. 2504 (XXIV) tanggal 19 November 1969.

Dalam butir Memperhatikan dinyatakan:  “Pemerintah Indonesia, dalam melaksanakan rencana pembangunan nasionalnya, memberikan perhatian khusus pada kemajuan Irian Barat, dengan mengingat kondisi spesifik penduduknya, dan bahwa Pemerintah Belanda, bekerja sama erat dengan Pemerintah Indonesia, akan terus memberikan bantuan keuangan untuk tujuan ini, khususnya melalui Bank Pembangunan Asia dan lembaga-lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa”.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, yang pada butir Menimbang poin f, menyatakan “bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Provinsi Papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua”.

Hal ini sejalan dengan “ruh” Memperhatikan dari Resolusi 2504 (XXIV) 19 November 1969. Namun sayangnya, setelah 32 tahun resolusi tersebut, baru lahirlah UU Otsus tentang Papua yang notabene belum dilaksanakan sesuai harapan masyarakat Papua.

Inilah SOLUSI DAMAI, BERMARTABAT DAN LEGAL serta TERHORMAT dalam proses pengembalian koloni Papua kepada pemiliknya yang sah yaitu Republik Indonesia. Hal ini juga yang menyelamatkan banyak nyawa di Papua, agar tidak mati sia-sia apabila terjadi peperangan antara Indonesia dan Belanda. Peribahasa: “Bila gajah berkelahi, semut pasti mati terinjak”. Resolusi PBB 2504 (XXIV) 19 November 1959 sesungguhnya adalah solusi damai untuk menghindari peperangan antara Belanda dan Indonesia serta menyelamatkan Orang Asli Papua dari ketidakpastian politiknya.

Sukarno (Sang Proklamtor Indonesia) berpesan kepada anaknya, Megawati Soekarno Putri: “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”.  (Zulfa Simatur, Kata – Kata Mengubah Dunia, Transmedia Pustaka, Jakarta, 2013: hal. 143).

“Anda dapat membodohi semua orang beberapa saat; Anda bisa menipu sebagian orang sepanjang waktu; tetapi Anda tidak bisa membodohi semua orang sepanjang waktu”.  Abraham Lincoln (1809-1865), Sumber : Clinton Illnois, 1858

Jakarta, 29 Juni 2020

Footnote:

1 “Tonggak Sejarah Nusantara” (1602-1800).

2 Bernard H.M. Vlekke, “Geschiedenis van den Indischen Archipel”, 1947 : hal. 153

3 Colen Brander, “Koloniale Geschiedenis, ‘s Graven hage”, 1925 : hal. 91.

4 P.J. Drooglever, “Tindakan Pilihan Bebas”, Kanisius Yogyakarta, 2010 : hal. 26.

5 Dirk Vlasblom, “Papoea Een Geschiendenis”, 2004: hal. 60-65.

6 Freddy Numberi, “Quo Vadis Papua”, 2013 : hal. 523.

7 Tharmidzy Thamrin, “Boven Digoel”, Ciscom, 2001 ; hal. 184 .

8 Els Bogaerts dan Remco Raben, “Van Indië tot Indonesië”, Amsterdam, 2007 : hal. 35.

9 Dr. H.J. van Mook, “Indonesië Nederland en de Wereld”, Vorkring, Bandoeng, 1949 : hal. 85.

10 Prof. Mr. Muh. Yamin, “Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945,” Jajasan Prapantja, 1959.  (Jilid I, II, III).

11 Dr. H.J. Van Mook,“Indonesia Nederland en de Wereld”, Vorkring, Bandoeng, 1949: hal. 39.

12 Drs. M. Cholil, “Sejarah Operasi-Operasi Pembebasan Irian Barat”, Pusat Sejarah ABRI,1979; hal. 31.

13 Ben Koster, “Een Verloren Land, De Regering Kennedy en de Nieuw Guiniea Kwestie 1961-1962”, Anthos, Baarn, 1991: hal. 99.

14 Freddy Numbery, “Qua Vadis Papua”, 2013: hlm 524 (terjemahan).

15 William Henderson, “West New Guinea, The Dispute and Its Settlement”, Seton Hall University Press, 1973: hal. 2.

16 John Saltford, “The United Nations and The Indonesian takeover of West Papua, 1962-1969, the Anatomy of Betrayal”, Routledge Curzon, London and New York, 2003: hal. 8.

LAMPIRAN-LAMPIRAN:

Lampiran 1: Konferensi Meja Bundar (KMB) 23 Agustus – 2 November 1949 

Konferensi Meja Bundar (KMB) dilaksanakan antara pihak Indonesia dan Belanda. Tanggal 23 Agustus 1949 sampai 2 November 1949 di Den Haag, Belanda. Tujuan Konferensi Meja Bundar ini adalah untuk mengakhiri perselisihan antara Indonesia dan Belanda dengan jalan diplomasi.

Sebelum konferensi ini, sudah berlangsung tiga pertemuan tingkat tinggi antara Belanda dan Indonesia, yaitu Perjanjian Linggarjati (1947), Perjanjian Renville (1948) dan Perjanjian Roem-Royen (1949). Salah satu hasil dan isi Konferensi Meja Bundar adalah Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia.

Hal yang melatarbelakangi terjadinya KMB adalah kegagalan Belanda untuk meredam kemerdekaan Indonesia dengan jalan kekerasan karena adanya kecaman dari dunia internasional.

Pada 28 Januari 1949, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan resolusi yang mengecam serangan militer Belanda terhadap tentara Indonesia. Dewan Keamanan PBB juga menyerukan diadakannya perundingan untuk menemukan penyelesaian damai antara dua pihak.

Konferensi Inter-Indonesia dihadiri semua otoritas bagian dari Republik Indonesia Serikat yang akan dibentuk. Para peserta setuju mengenai prinsip dan kerangka dasar untuk konstitusinya. Pada tanggal 11 Agustus 1949, dibentuk perwakilan Republik Indonesia untuk menghadiri Konferensi Meja Bundar (KMB) tersebut.

Konferensi Meja Bundar dilaksanakan untuk: Mengakhiri perselisihan antara Indonesia dan Belanda dengan cara melaksanakan perjanjian-perjanjian yang sudah dibuat antara Republik Indonesia dengan Belanda, khususnya mengenai pembentukan Negara Indonesia Serikat (RIS). Dengan kesepakatan KMB, maka Indonesia telah diakui sebagai negara yang berdaulat penuh oleh Belanda, walaupun tanpa Irian Barat.

Ada tiga pihak yang terlibat dalam konferensi Meja Bundar, yakni pihak Indonesia, pihak Belanda yang diwakili BFO dan pihak UNCI (United Nations Comissioner for Indonesia) selaku penengah.

  1. Pihak Indonesia

Pihak Indonesia diketuai oleh Drs. Mohammad Hatta dan terdiri dari 12 delegasi secara keseluruhan.

Drs. Mohammad Hatta

Nir. Moh. Roem

Prof Dr. Mr. Supomo

Dr. J. Leitnena

Mr. Ali Sastroamidjojo

Ir. Djuanda

Dr. Sukiman

Mr. Suyono Hadinoto

Dr. Sumitro Djojohadikusumo

Mr. Abdul Karim Pringgodigdo

Kolonel T.B. Simatupang

Mr. Muwardi

  1. Pihak Belanda

Dalam KMB, pihak Belanda diwakili oleh BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg) yang mewakili berbagai negara yang diciptakan Belanda di kepulauan Indonesia.

Perwakilan BFO ini dipimpin oleh Sultan Hamid II dari Pontianak. Perwakilan Belanda dipimpin oleh Mr. van Maarseveen dan UNCI diwakili Chritchley.

  1. Pihak UNCI

Pihak UNCI atau United Nations Comissioner for Indonesia bertindak sebagai penengah jalannya konferensi antara Indonesia dan Belanda. Pembentukan UNCI dilakukan sebagai penengah dan mediator perdamaian perselisihan Indonesia dan Belanda.

Ada beberapa poin kesepakatan Konferensi Meja Bundar:

  • Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai sebuah negara yang merdeka. Pengakuan kedaulatan dilakukan selambat-lambatnya tanggal 30 Desember 1949.
  • Status Provinsi Irian Barat diselesaikan paling lama dalam waktu setahun setelah pengakuan kedaulatan.
  • Dibentuknya Uni Indonesia-Belanda untuk mengadakan kerjasama antara RIS dan Belanda yang dikepalai Raja Belanda.
  • Republik Indonesia Serikat akan mengembalikan hak milik Belanda dan memberikan hak-hak konsesi serta izin baru untuk perusahaanperusahaan Belanda. Republik indonesia Serikat harus membayar semua utang Belanda sejak tahun 1942. Kapal-kapal perang Belanda akan ditarik dari Indonesia dengan catatan beberapa korvet akan diserahkan kepada RIS. Tentara Kerajaan Belanda akan ditarik mundur, sedangkan Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) akan dibubarkan dengan catatan bahwa anggotanya yang diperlukan akan dimasukkan dalam kesatuan TNI.

Pengesahan dan penandatanganan isi Konferensi Meja Bundar dilakukan pada tanggal 29 Oktober 1949. Hasil KMB ini kemudian disampaikan kepada Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Selanjutnya KNIP melakukan sidang pada tanggal 6-14 Desember 1949 untuk membahas hasil dari KMB. Pada akhirnya KNIP menyetujui hasil KMB. Pada 15 Desember 1949, Soekarno sebagai calon tunggal terpilih sebagai presiden Republik Indonesia Serikat.

Indonesia Serikat dibentuk seperti republik federasi berdaulat yang terdiri dari 16 negara bagian dan merupakan persekutuan dengan Kerajaan Belanda. Kabinet RIS terbentuk di bawah pimpinan Drs. Moh. Hatta yang menjadi Perdana Menteri.

Penyerahan kedaulatan Belanda terhadap Indonesia akhirnya disahkan pada tanggal 27 Desember 1949. Dalam upacara penyerahan kedaulatan pihak Belanda ditandatangani oleh Ratu Juliana, Perdana Menteri Dr. Willem Drees dan Menteri Seberang Lautan Mr. AM . J.A Sassen. Sedangkan delegasi Indonesia dipimpin oleh Drs. Moh. Hatta.

Di waktu yang sama di Jakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Wakil Tertinggi Mahkota AH. J. Lovink menandatangani naskah pengakuan kedaulatan. Dengan diakuinya kedaulatan RI oleh Belanda ini maka Indonesia berubah bentuk negaranya berubah menjadi negara serikat yakni Republik Indonesia Serikat (RIS).

Penyerahan kedaulatan menandai pengakuan Belanda atas berdirinya Republik Indonesia Serikat dan wilayahnya mencakup semua bekas wilayah jajahan Hindia-Belanda secara formal kecuali wilayah Irian Barat. Irian barat diserahkan oleh Belanda setahun kemudian yaitu pada tahun 1950.

Lampiran 2:

1514 (XV). Declaration on the Granting of Independence to Colonial Countries and Peoples

Adopted by General Assembly resolution 1514 (XV) of 14 December 1960

The General Assembly,

Mindful of the determination proclaimed by the peoples of the world in the Charter of the United Nations to reaffirm faith in fundamental human rights, in the dignity and worth of the human person, in the equal rights of men and women and of nations large and small and to promote social progress and better standards of life in larger freedom,

Conscious of the need for the creation of conditions of stability and wellbeing and peaceful and friendly relations based on respect for the principles of equal rights and self-determination of all peoples, and of universal respect for, and observance of, human rights and fundamental freedoms for all without distinction as to race, sex, language or religion,

Recognizing the passionate yearning for freedom in all dependent peoples and the decisive role of such peoples in the attainment of their independence,

Aware of the increasing conflicts resulting from the denial of or impediments in the way of the freedom of such peoples, which constitute a serious threat to world peace,

Considering the important role of the United Nations in assisting the movement for independence in Trust and Non-Self-Governing Territories,

Recognizing that the peoples of the world ardently desire the end of colonialism in all its manifestations,

Convinced that the continued existence of colonialism prevents the development of international economic co-operation, impedes the social, cultural and economic development of dependent peoples and militates against the United Nations ideal of universal peace,

Affirming that peoples may, for their own ends, freely dispose of their natural wealth and resources without prejudice to any obligations arising out of international economic co-operation, based upon the principle of mutual benefit, and international law,

Believing that the process of liberation is irresistible and irreversible and that, in order to avoid serious crises, an end must be put to colonialism and all practices of segregation and discrimination associated therewith,

Welcoming the emergence in recent years of a large number of dependent territories into freedom and independence, and recognizing the increasingly powerful trends towards freedom in such territories which have not yet attained independence,

Convinced that all peoples have an inalienable right to complete freedom, the exercise of their sovereignty and the integrity of their national territory,

Solemnly proclaims the necessity of bringing to a speedy and unconditional end colonialism in all its forms and manifestations;

And to this end declares that:

  1. The subjection of peoples to alien subjugation, domination and exploitation constitutes a denial of fundamental human rights, is contrary to the Charter of the United Nations and is an impediment to the promotion of world peace and co-operation.
  2. All peoples have the right to self-determination; by virtue of that right they freely determine their political status and freely pursue their economic, social and cultural development.
  3. Inadequacy of political, economic, social or educational preparedness should never serve as a pretext for delaying independence.
  4. All armed action or repressive measures of all kinds directed against dependent peoples shall cease in order to enable them to exercise peacefully and freely their right to complete independence, and the integrity of their national territory shall be respected.
  5. Immediate steps shall be taken, in Trust and Non-Self-Governing Territories or all other territories which have not yet attained independence, to transfer all powers to the peoples of those territories, without any conditions or reservations, in accordance with their freely expressed will and desire, without any distinction as to race, creed or colour, in order to enable them to enjoy complete independence and freedom.
  6. Any attempt aimed at the partial or total disruption of the national unity and the territorial integrity of a country is incompatible with the purposes and principles of the Charter of the United Nations.
  7. All States shall observe faithfully and strictly the provisions of the Charter of the United Nations, the Universal Declaration of Human Rights and the present Declaration on the basis of equality, non-interference in the internal affairs of all States, and respect for the sovereign rights of all peoples and their territorial integrity.

Lampiran 3: 2504 (XXIV). Agreement between the Republic of Indonesia and the Kingdom of the Netherlands concerning West New Guinea (West Irian)   The General Assembly,

Recalling its resolution 1752 (XVII) of 21 September 1962, in which it took note of the Agreement of 15 August 1962 between the Republic of Indonesia and the Kingdom of the Netherlands concerning West New Guinea (West Irian),4 acknowledged the role role conferred upon the Secretary-General in the Agreement and authorized him to carry out the tasks entrusted to him therein,

Recalling also its decision of 6 November 19635 to take note of the report of the Secretary-General6 on the completion of the United Nations Temporary Executive Authority in West Irian,

Recalling further that the arrangements for the act of free choice were the responsibility of Indonesia with the advice, assistance and participation of a special representative of the Secretary-General, as stipulated in the Agreement,

Having received the report on the conduct and results of the act of free choice7 submitted by the Secretary-General in accordance with article XXI, paragraph 1, of the Agreement,

Bearing in mind that, in accordance with article XXI, paragraph 2, both parties to the Agreement have recognized these results and abide by them,

Noting that the Government of Indonesia, in implementing its national development plan, is giving special attention to the progress of West Irian, bearing in mind the specific conditions of its population, and that the Government of the Netherlands, in close cooperation with the Government of Indonesia, will continue to render financial assistance for this purpose,

4 Ibid., Seventeenth Session, Annexes, agenda item 89, document A/5170, annex.

5 Ibid., Eighteenth Session, Plenary Meetings, 1255th meeting. para. 71.

6 Ibid., Eighteenth Session, Annexes, agenda item 20, document A/5578.

7 Ibid., Twenty-fourth Session, Annexes, agenda item 98, document A/7723.

in particular through the Asian Development Bank and the institutions of the United Nations,

  1. Takes note of the report of the Secretary-General and acknowledges with appreciation the fulfilment by the Secretary-General and his representatives of the tasks entrusted to them under the Agreement of 15 August 1962 between the Republic of Indonesia and the Kingdom of the Netherlands concerning West New Guinea (West Irian);
  2. Appreciates any assistance provided through the Asian Development Bank, through institutions of the United Nations or through other means to the Government of Indonesia in its efforts to promote the economic and social development of West Irian.

1813th plenary meeting, 19 November 1969.

Lampiran 4: Negara-Negara yang menyetujui Resolusi 2504 (XXIV) 19 November 1969

Resolusi ini telah diterima tanpa perubahan apapun oleh Majelis Umum PBB tanggal 19 November 1969 dengan hasil suara sebagai berikut:

84 Negara Setuju:

  1. Amerika Serikat
  2. Afganistan
  3. Afrika Selatan
  4. Algeria
  5. Argentina
  6. Australia
  7. Austria
  8. Belanda
  9. Belgia
  10. Bulgaria
  11. Burma
  12. Belarusia
  13. Kamboja
  14. Kanada
  15. Chile
  16. China
  17. Kuba
  18. Siprus
  19. Cekoslowakia
  20. Denmark
  21. Dominika
  22. Ethiopia
  23. Filipina
  24. Finlandia
  25. Perancis
  26. Yunani
  27. Guatemala
  28. Guinea
  29. Honduras
  30. Hongaria
  31. Islandia
  32. India
  33. Indonesia
  34. Inggris
  35. Iran
  36. Irak
  37. Irlandia
  38. Italia
  39. Jepang
  40. Jordania
  41. Kuwait
  42. Laos
  43. Libanon
  44. Liberia
  45. Libia
  46. Luxemburg
  47. Madagaskar
  48. Malaysia
  49. Maldives
  50. Mali
  51. Mauritania
  52. Meksiko
  53. Mongolia
  54. Maroko
  55. Nepal
  56. Nikaragua
  57. Nigeria
  58. Norwegia
  59. Pakistan
  60. Panama
  61. Peru
  62. Polandia
  63. Portugal
  64. RPA
  65. Rumania
  66. Rwanda
  67. Saudi Arabia
  68. Selandia Baru
  69. Senegal
  70. Singapura
  71. Siria
  72. Spanyol
  73. Sri Lanka
  74. Sudan
  75. Swedia
  76. Thailand
  77. Tunisia
  78. Turki
  79. Ukraina
  80. Uni Soviet
  81. Uruguay
  82. Yaman
  83. Yaman Selatan
  84. Yugoslavia

Negara Tidak Setuju: Nihil  

30 Negara Abstain/Blanko

  1. Afrika Tengah
  2. Barbados
  3. Batswana
  4. Brazil
  5. Burundi
  6. Chad
  7. Dahomey
  8. Guinea
  9. Gabon
  10. Ghana
  11. Guyana
  12. Israel
  13. Kamerun
  14. Kenya
  15. Kongo Brazaville
  16. Lesotho
  17. Malawi
  18. Nigeria
  19. Pantai Gading
  20. Republik Kongo
  21. Sierra Leone
  22. Somalia
  23. Soasilas
  24. Tanzania
  25. Togo
  26. Trinidad dan Tobago
  27. Uganda
  28. Volta Hulu
  29. Venezuela
  30. Zambia

 12 Negara Tidak Hadir

  1. Albania
  2. Bolivia
  3. Ekuador
  4. El Salvador
  5. Gambia
  6. Haiti
  7. Jamaika
  8. Kolombia
  9. Kosta Rika
  10. Malta
  11. Mauritius
  12. Paraguay

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

  1. Amirudin al Rahab-Heboh Papua, Perang Rahasia, Trauma dan Separatisme, Komunitas Bambu, Jakarta, 2010.
  2. Arend Lijphart-The Trauma of Decolonization, The Dutch and West New Guinea, Yale University Press, 1966.
  3. Ben Koster-Een Verloren Land, De Regering Kennedy en de Nieuw Guinea Kwestie 1961-1962, Anthos, Baarn,1991.
  4. Bernard H.M.Vlekke-Geschiedenis van den Indischen Archipel, J.J. Romen & Zonen, Roermond, 1947.
  5. Brian May-The Indonesian Tragedy, Graham Brash (PTE) LTD, Singapore, 1978.
  6. Coenraad Jacobus, Leendert-Van Atjeh’s Stranden Tot De Kooral Rotsen Van Nieuw Guinea (1890), Kessinger Legacy Reprints, Arhem, 1890.
  7. Dirk Vlasblom, Papoea-Een Geschiedenis, Mets & Schilt, Amsterdam, 2004.
  8. Drs. H. Eggink-De Aardrijkskunde van Nieuw Guinea, J.B. WoltersGroningen, Jakarta, 1956.
  9. Drs. H. Tarmidzy Thamrin, Boven Digoel, Lambang Perlawanan Terhadap Kolonialisme, Ciscom, Jakarta, 2001.
  10. Els Bogaerts en Remco Raben, Van Indië tot Indonesië, Boom, Amsterdam, 2007.
  11. Freddy Numberi, Quo Vadis Papua, PT. Bhuana Ilmu Populer, 2013.
  12. Greg Poulgrain-The Incubus of Intervention, Conflicting Indonesia Strategies of John F. Kennedy and Allen Dulles.
  13. H. Van Der Wall, Verslag van de Studie Commissie Nieuw Guinea, Batavia, 1949.
  14. HansMeijer,DenHaag-Djakarta,DeNederlands-Indonesische betrekkingen 1950-1962, Zetwerk Elgraphic bv, Schiedam, 1994.
  15. J.J.P. de Jong-Diplomatie of Strijd, Het Nederlandse beleid tegenover de Indonesische revolutie 1945-1947, Boom Keppel, Amsterdam, 1988.
  16. John Saltford, The United Nations and The Indonesian Takeover of West Papua, 1962-1969-The Anatomy of Betrayal, Routledge Curzon, London, 2003.
  17. Jon M. Reinhardt, Foreign Policy and National Integration The Case of Indonesia, Yale University, Connecticut, 1971.
  18. Justus Maria Van Der Kroef, The Western New Guinea Dispute, Institute of Pacific Relations, New York, 1958.
  19. Martin Mc Cauley, The Cold War 1949-2016, Routledge, London, 2017.
  20. Martin Mc Cauley-Origins of the Cold War 1941-1949, Routledge, London, 2016.
  21. Nino Oktorino-Dalam Cengkraman Dai Nippon, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta, 2013.
  22. Ongkoham, Runtuhnya Hindia Belanda, PT. Gramedia, Jakarta, 1987.
  23. Pierre Heijboer, Agresi Militer Belanda, PT. Gramedia, Jakarta, 1998.
  24. P.J. Drooglever en M.J.B. Schouten, Het Einde in Zicht, Stemmen uit het laatste jaar van Nederlands-Indië, wilco b.v. Amersfoort.
  25. P.J. Drooglever, Tindakan Pilihan Bebas!, Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri, Kanisius, Yogyakarta, 2010.
  26. P. Kasberg-Nederlands Nieuw Guinea, Een land in opbouw, Den Haag.
  27. Prof. MR. B.V.A. Rolling, Nieuw Guinea wereld problem!, Van Gorcum, Assen, 1957.
  28. Prof. MR. H. Muh. Yamin-Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jajasan Prapantja, Djakarta, 1959. (Djilid I, II, III).
  29. Rapport Van De Commissie Nieuw Guinea (Irian), ‘s Gravenhage, 1950.
  30. Robert C. Bone, JR, The Dynamics of the Western New Guinea (Irian Barat) Problem, Cornell University Ithaca, New York, 1958.
  31. Robin Osborn_Indonesia’s Secret War, The Guerilla Struggle in Irian Jaya, Allen & Unwin Australia, Sydney, 1985.
  32. Secretariaat Generaal van de Ronde Tafel Conferentie, “Ronde Tafel Conferentie te ‘s-Gravenhage”, 1949.
  33. W.A. Van Goudoever-Malino Maakt Historie, Regerings Voorlichtings Dienst, Batavia, 1946.
  34. William Henderson, West New Guinea, The Dispute and Its Settlement, Seton Hall University Press, 1973.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here