Benny Lapago, Papuan now living in Netherlands | 05 July 2020
Seperti umumnya kelompok separatis lainnya di berbagai belahan bumi, Kelompok Separtis Papua (KSP) dengan semua faksi-faksinya, sering mengklaim telah mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, negara tertentu, partai politik di suatu negara, sejumlah Non Government Organisation (NGO/LSM) dan tokoh berpengaruh.
Pertanyaannya: apakah klaim dukungan itu bisa mengantar Papua menjadi negara merdeka? Jawabannya: hampir mustahil. Berikut ini argumentasinya, berdasarkan hasil bincang-bincang saya dengan beberapa tokoh dan aktivis Papua yang berdomisili di Belanda.
Pertama, sebagai perbandingan, Palestina itu kurang apa sih? Palestina didukung oleh hampir semua negara; berbagai resolusi DK PBB mendukung kemerdekaan Palestina; Palestina menjadi anggota resmi di berbagai organisasi internasional. Dibanding semua gerakan kemerdekaan lainnya, Palestina adalah gerakan kemerdekaan yang memiliki sumber daya yang signifikan. Tapi hasilnya: Palestina tetap menjadi negara terjajah, hingga saat ini.
Sebagai catatan, gerakan Palestina merdeka sudah mulai sejak 1947 (lebih duluan 24 tahun dibanding gerakan papua merdeka yang baru mulai sekitar tahun 1971).
Dan kita tahu, dukungan internasional terhadap Papua Merdeka, masih jauh dari posisi Palestina. Bahkan jika diasumsikan Papua nantinya mendapatkan dukungan internasional seperti yang diperoleh oleh Palestina, ya, nasib Papua akan tetap sama dengan Palestina.
Kedua, berdasarkan konstelasi politik internasional, khususnya di lingkungan United Nation (PBB=Perserikatan Bangsa-Bangsa), tidak ada satupun argumen yang masuk akal bahwa Papua Merdeka akan mendapatkan dukungan dari negara-negara anggota PBB.
Sebagai kilas balik, dalam voting resolusi SU PBB nomor 2504 (XXIV) tentang Agreement between the Republic of Indonesia and the Kingdom of the Netherlands concerning West New Guinea (West Irian), pada 19 November 1969, ketika itu, SU PBB dihadiri total 126 negara, dengan rincian 84 negara sejuju; 30 negara abstain/blanco; dan 12 negara yang tidak hadir. Artinya, tidak satupun negara yang menolak Resolusi SU PBB nomor 2504 (XXIV).
Ketiga, dari tahun ke tahun, berbagai faksi KSP terus melobi berbagai pihak untuk memasukkan isu Papua dalam agenda SU PBB, yang biasanya diselenggarakan pada bulan September setiap tahun. Dan upaya ini, sekali lagi, nyaris mustahil. Sebab untuk memasukkan isu Papua dalam agenda dalam SU PBB, diperlukan persetujuan minimal 2/3 negara anggota PBB. Berdasarkan data terakhir, saat ini PBB beranggotakan sebanyak 193 negara berdaulat. Artinya, untuk memasukkan isu Papua dalam agenda SU PBB perlu mendapatkan dukungan paling kurang 128 negara. Dan jumlah ini hampir pasti mustahil terjadi.
Keempat, kecuali dalam posisi yang benar-benar terjepit oleh tekanan internasional, pemerintah Indonesia sejauh ini bisa dipastikan tidak akan, sekali tidak akan, memberikan peluang referendum ulang untuk Papua. Pemerintah Indonesia tidak akan memberikan peluang sekecil apapun untuk kemungkinan referendum, seperti yang dilakukan dalam kasus referendum Timor Timur, 1999.
Kelima, lantas apa gunanya dan apa untungnya bagi aktivis berbagai faksi perjuangan Papua Merdeka yang menggelar kegiatan advokasi di Papua dan di sejumlah negara? Ya, sekedar bernostalgia saja. Tidak lebih dan tidak kurang. Dan kegiatan-kegiatan berteriak tentang Papua Merdeka itu mestinya disikapi sebagai kegiatan untuk bernostalgia dengan masa lalu, ketika mestinya mereka menatap masa depan tentang Papua dan rakyat Papua. Sebagian kegiatan ini juga dimanfaatkan oleh sejumlah tokoh aktivis Papua untuk mendapatkan dukungan finansial untuk dirinya sendiri. Dan fakta ini juga berlaku bagi hampir semua gerakan kemerdekaan di dunia.
Keenam, setelah bergulir hampir 50 tahun (sejak 1971), gerakan Papua Merdeka telah mengalami berbagai fase, dan karakter dasar pada setiap fasenya adalah konflik internal antar berbagai faksi gerakan Papua Merdeka. Selain itu, dan ini yang penting, sebagian tokoh-tokoh perjuangan Papua, bahkan dari angkatan pertama, telah memutuskan dengan sadar dan sukarela untuk bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dan pilihan seperti ini tentu saja harus dihargai, oleh orang Papua yang masih bernostalgia dengan Papua Merdeka.
Ketujuh, berdasarkan pengamatan saya selama beberapa tahun terakhir terhadap beragam kegiatan KSP di Papua dan juga di negara-negara lain, saya berasumsi bahwa sebagian besar aktivis KSP di manapun tidak memahami konstelasi politik global. Dan sialnya, ketidakpahaman itu dimanipulasi untuk menipu orang Papua di Papua dengan provokasi yang sering tidak masuk akal, misalnya dengan mengatakan bahwa seolah-olah tahun depan, Papua akan segera merdeka.
Singkat kalimat, mengacu pada tujuh argumentasi itu saja (meski masih banyak argumen lainnya), saya cukup yakin untuk berkesimpulan bahwa kemungkinan Papua menjadi negara Merdeka adalah nol-koma-nol persen.