Wikipapua https://wikipapua.com All About Papua Sun, 26 Jul 2020 23:16:20 +0000 en-US hourly 1 https://wordpress.org/?v=5.3.4 https://wikipapua.com/wp-content/uploads/2019/05/cropped-maxresdefault-32x32.jpg Wikipapua https://wikipapua.com 32 32 Jika Papua Ingin Merdeka, Ini Tahapannya https://wikipapua.com/2020/07/26/jika-papua-ingin-merdeka-ini-tahapannya-2/ https://wikipapua.com/2020/07/26/jika-papua-ingin-merdeka-ini-tahapannya-2/#respond Sun, 26 Jul 2020 23:13:48 +0000 https://wikipapua.com/?p=1048 Oleh Benny Lapago | Den Haag, 26 Juli 2020

Pertanyaan kunci: apakah ada peluang Papua menjadi negara merdeka? Tergantung.

Artikel ini akan coba mengulasnya seobyektif mungkin, dengan mengurai tahapan-tahapan yang mesti dilewati jika Papua ingin merdeka, sambil melihat dan menganalisis kemungkinannya serta tantangan dan peluang pada setiap tahapan.

Sebelum membahas soal tahapan itu, perlu diketahui beberapa fakta tentang Papua saat ini, baik di pihak Indonesia ataupun di pihak pro merdeka.

Pertama, ada resolusi SU PBB (UNGA) Nomor 2504 tahun 1969, yang mengakui hasil Pepera (Act of Free Choice) 1969, yang mengakui bahwa Papua adalah bagian dari Indonesia; di pihak lain, semua kelompok pro Merdeka menilai resolusi UNGA dan Act of Free Choice itu tidak sah dan karena itu mereka menuntut referendum ulang.

Kedua, secara de facto, wilayah Papua saat ini berada dalam kedaulatan Indonesia; di sisi lain, berbagai faksi pro Merdeka sedang melakukan perlawanan dan perang gerilya di berbagai titik di Papua dengan argumen bahwa Indonesia adalah penjajah di Papua.

Ketiga, pihak Indonesia dari waktu ke waktu melakukan tindakan penegakan hukum terhadap kelompok bersenjata pro merdeka sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia; di sisi lain, hampir semua faksi pro merdeka menilai penegakan hukum itu sebagai tindakan yang melanggar HAM (Hak Asasi Manusia).

Keempat, Indonesia saat ini dan masih terus membangun Papua melalui berbagai proyek insfrastruktur dan berbagai bidang ekonomi-sosial lainnya; di sisi lain semua faksi pro merdeka mengklaim tidak memerlukan pembangunan itu.

Pertarungan antara pro merdeka vs pro Indonesia terkait empat fakta di atas masih dan akan terus berlangsung. Dan jika ingin Papua menjadi negara merdeka, setidaknya ada tujuh tahapan yang harus dilewati, sebagai berikut:

Tahap-1: Demonstrasi dan Propaganda di Medsos

Jika membuka berbagai platform Medsos (terutama Twitter, Facebook, Instagram), dan mengklik hastag #papua atau #westpapua, kita akan langsung berhadapan degan segudang postingan, yang mengadvokasi dan menuntut Papua merdeka dan/atau referendum. Narasinya hampir semuanya mengirim pesan: seolah-olah Papua akan segera merdeka besok pagi atau paling telat pekan depan.

Harus diakui, propaganda di Medsos tentu akan membentuk opini. Cuma opini yang terbentuk ini sebenarnya juga tidak bisa diukur secara pasti.

Namun jangan salah! Propaganda pro merdeka itu akan diimbangi dan/atau dikonter oleh propaganda pro-Indonesia. Dan pertarungan propaganda di Medsos itulah yang sudah-sedang-dan-akan terus berlangsung.

Dan sejauh ini, saya tidak memiliki alasan obyektif untuk mengatakan misalnya,  ribut-ribut atau hura-hura di Medsos itu akan menjadi pertimbangan oleh berbagai negara di dunia untuk mendukung Papua Merdeka.

Perlu dicatat juga, tahapan propaganda dan kontra propaganda ini bisa berlangsung bertahun-tahun, sebelum masuk ke tahap-2.

Ada satu pemandangan ganjil dalam setiap aksi dan postingan milik pro Papua Merdeka: mereka mengangkat spanduk atau meme bertuliskan “Referendum”, atau “kami ingin referendum”. Dan anehnya, permintaan itu ditujukan kepada Pemerintah Indonesia. Dan ini salah alamat.

Sebab Pemerintah Indonesia tidak memiliki posisi legal untuk memberikan atau mengizinkan pelaksanaan referendum di Papua. Kalau mau, tuntutan referendum mestinya ditujukan kepada PBB. Sebab yang melaksanakan Act of Free Choice tahun1969 adalah PBB zq UNTEA (United Nations Temporary Authority), yang mengesahkan adalah SU PBB. Dan menuntut referendum untuk Papua akan dianggap sebagai pembangkangan terhadap Resolusi SU PBB.

Dengan kata lain, seandainya pun Pemerintah Indonesia secara sepihak ingin melaksanakan referendum untuk Papua, juga tidak mungkin dilakukan. Sebab jika Indonesia melaksanakan referendum, berarti Indonesia akan dianggap menentang Resolusi SU PBB (UNGA) Nomor 2504 tahun 1969.

Karena itu, jika ditanya, apakah ada pengaruh langsung propaganda pro merdeka di Medsos itu terhadap kemungkinan Papua merdeka? Untuk sementara jawabannya tegas: tidak ada.

Ribut-ribut dan berteriak-teriak di Medsos yang dilakukan oleh kelompok yang pro merdeka adalah bagian dari upaya melepaskan unek-unek. Termasuk misalnya sejumlah influencer sekalas Veronica Koman.

Dan harus diterima bahwa selama periode tahap-1 ini, aksi demonstrasi menuntut kemerdekaan Papua, pengibaran bendera Bintang Kejora dari waktu ke waktu dan di beberapa negara, diskusi offline dan online tentang Papua tentu saja akan terus berlangsung.

Tahap-2: dukungan massif dari tokoh dan LSM global

Setelah melewai tahap-1 (propaganda di Medsos) yang bisa bertahun-tahun, mungkin saja akan muncul segelintir tokoh nasional di Indonesia, atau public figur internasional yang mendukung perjuangan Papua Merdeka. Dan ini wajar saja.

Namun untuk bisa efektif, dukungan tokoh dan publik figur nasional dan internasional ini, harus bersifat massif, menyebar seluas mungkin, dan persebarannya paling tidak mewakili berbagai wilayah regional dalam peta bumi.

Sejauh ini, memang ada satu dua orang tokoh nasional dan/atau regional yang mendukung Papua Merdeka. Namun saya tidak melihat adanya kecenderungan yang bersifat masif dari tokoh-tokoh publik nasional dan internasional yang mau mendukung Papua Merdeka.

Yang banyak bermunculan adalah dukungan sejumlah organisasi dan pegiat HAM (Hak Asasi Manusia), yang sebenarnya juga lebih fokus mendukung dan menuntut penuntasan kasus HAM di Papua.

Dan advokasi tentang HAM di Papua itu, yang disuarakan oleh berbagai organisasi dan pegiat HAM, baik nasional ataupun internasional, tidak lantas berbanding lurus dengan dukungan untuk Papua Merdeka. Ini dua kasus (HAM dan Merdeka) yang berbeda. Artinya, mendukung penegakan HAM di Papua tidak dapat langsung diartikan sebagai dukungan terhadap Papua Merdeka.

Bahkan pembahasan isu HAM Papua di forum Dewan HAM PBB, juga tidak secara otomatis berbanding lurus dengan kemungkinan PBB mendukung Papua Merdeka. Rekomendasi Dewan HAM hanya akan menjadi salah satu pertimbangan jika nantinya ada pembahasan isu Papua di forum Sidang Umum dan/atau Dewan Keamanan PBB.

Kesimpulannya, di tahap-2 ini, kelompok pro merdeka belum dapat dianggap sukses. Masih jauh dari sukses.

Tahap-3: dukungan lembaga-lembaga keagamaan internasional

Meskipun ada kemiripan, namun saya membedakan antara LSM (NGO/Non Governmental Organization) dan lembaga keagamaan, baik yang berbasis regional ataupun internasional.

Salah satu tahapan yang paling krusial terkait isu Papua adalah jika muncul dukungan dari lembaga keagamaan global yang memiliki reputasi internasional. Sebab dukungan lembaga keagamaan ini akan menjadi semacam banchmark atau acuan bagi negara-negara lain, atau organisasi dan tokoh-tokoh internasional untuk bersikap lebih lanjut terhadap isu Papua.

Sebagai contoh, jika tiba-tiba Takhta Suci Vatikan misalnya mengeluarkan pernyataan mendukung pelaksanaan referendum untuk Papua dan/atau kemerdekaan Papua, pengaruhnya akan sangat signifikan.

Tapi, berdasarkan pengalaman dalam kasus-kasus lain selama ini, kemungkinan Vatikan mendukung referendum di Papua masih sangat kecil. Sikap Vatikan biasanya juga mengacu pada konstelasi politik global.

Perlu dicatat bahwa beberapa lembaga keagamaan di Papua telah dan cenderung mendukung pihak pro-merdeka. Hanya pernyataan ini lebih bersifat kelompok dalam lembaga keagamaan itu, bukan mewakili lembaga keagamaan resmi. Dan substansi pernyataannya pun tidak secara terus terang mendukung papua Merdeka, tetapi mengalihkannya ke isu lain. Yang terbaru adalah press release Dewan Gereja Papua (WPCC) yang berjudul “Otsus Pembangunan Indonesia Untuk Kesejahteraan Rakyat Papua Sudah Mati” (Senin, 6 Juli 2020).

Pada Tahap-3 ini, gerakan pro Papua Merdeka juga masih jauh dari sukses.

Tahap-4: mengantongi dukungan banyak negara

Sering terdengar beberapa tokoh Papua Merdeka di dalam ataupun di luar negeri, yang berkoar-koar telah mendapatkan dukungan dari berbagai negara. Dan ini lebih sebagai propaganda saja.

Sebagai gambaran, sikap negara-negara di dunia saat ini terhadap isu Papua dapat diklasifikasi dalam empat kategori, sebagai berikut:

Pertama, negara yang terang-terangan mendukung Papua Merdeka, seperti Vanuatu, dan dalam kadar yang berbeda, sejumlah negara Pasifik Selatan dan Afrika.

Kedua, negara-negara yang bersimpati pada isu Papua Merdeka, dalam arti tidak terang-terangan mendukung isu Papua Merdeka, namun mendukung misalnya soal penyelidikan dan penegakan HAM di Papua atau hak-hak indigenous people (warga asli).

Ketiga, ada beberapa negara yang tidak/belum memberikan pernyataan apapun tentang Papua merdeka, namun berdasarkan pengalaman dalam kasus Timor Timur, negara-negara ini diasumsikan mungkin akan mendukung Papua Merdeka pada saat-saat yang kritis.

Keempat, negara-negara yang dipastikan akan menolak Papua Merdeka, seperti negara-negara anggota ASEAN, sebagian besar negara anggota Non Blok, sebagian besar negara anggota Uni Eropa, mayoritas negara-negara Amerika Latin, hampir semua negara-negara Timur Tengah dan Asia Selatan.

Karena itu, pernyataan dukungan 79 negara anggota Africa-Pasific Carribean (APC), yang dikeluarkan dalam KTT APC di Kenya Nairobi pada Desember 2019, dapat diklasifikasi dalam kategori kedua (negara-negara yang bersimpati pada isu Papua Merdeka). Sebab resolusi KTT APC tidak secara terbuka mendukung Papua Merdeka. Berikut adalah resolusi ACP tentang Papua pada Desember 2019:

  1. Conduct a mission to West Papua and provide an evidence-based, informed report on the human rights situation before the next meeting of the Pacific Islands Forum Leaders in July 2020 (Membentuk tim untuk mencari fakta dan laporan yang berbasis informasi terkait kondisi HAM di Papua, sebelum pelaksanaan pertemuan pemimpin Pacific Islands Forum pada Juli 2020);
  2. Allow international media access to West Papua to provide independent coverage on the human rights situation ahead of the next meeting of the Pacific Islands Forum Leaders in July 2020 (membuka akses bagi media-media internasional ke Papua Barat untuk membuat liplutan kondisi HAM menjelang pelaksanaan pertemuan pemimpin Pacific Islands Forum pada Juli 2020);
  3. Work together to address the root causes of the conflict in West Papua by peaceful means, and protect and uphold the human rights of all residents in West Papua; and (Bekerjasama untuk mengidentifikasi akar persoalan dan konflik di Papua Barat dengan mengacu pada prinsip perdamaian, dan melindungi HAM semua warga Papua, dan)
  4. Seek to include the human rights situation in West Papua as a standing item on the agenda of the United Nations Human Rights Council (berupaya untuk memasukkan kondisi HAM di Papua sebagai salah satu agenda Dewan HAM PBB).

Kalau dicermati, sekali lagi, tidak satupun dari empat butir resolusi itu yang terang-terangan mendukung Papua Merdeka. Meskipun rumusan kalimat itu bisa juga dipahami sebagai rumusan redaksi diplomasi. Artinya, dukungan dan advokasi APC utnuk penyelidikan HAM di Papua sebenarnya hanya kedok, namun boleh jadi sebagian besar anggota ACP memang mendukung Papua Merdeka.

Perlu dicatat di sini, organisasi-organisasi yang berbasis regional, apalagi jika posisi geografisnya saling berjauhan seperti APC (satu di Pasifik, yang di lain di Afrika dan satunya lagi di kawasan Karibia), biasanya tidak memiliki efektivitas dalam percaturan politik global. Tidak aneh, resolusi KTT ACP itu tidak menjadi perhatian media-media mainstream global, dan hanya dipublikasikan oleh media-media kecil, dan tentu saja dipublikasikan secara masif melalui berbagai platform media sosial. Dan wajar jika sejumlah tokoh dan organisasi Papua Merdeka terus menjadi resolusi ACP itu sebagai materi untuk mengklaim kesuksesan oleh organisasi dan tokoh pro merdeka.

Di kalangan organisasi regional lain seperti non-Blok, Organisasi Kerjasama Islam (OKI), ASEAN, bahkan Uni Eropa, tidak satupun yang mendukung Papua Merdeka. Bahkan di lingkungan Non-Blok, ada klausul yang menyebutkan agar setiap negara anggotanya tidak boleh mendukung gerakan separatis yang terjadi di salah satu negara anggota Non-Blok.

Karena itu, lagi-lagi, kelompok pro Papua Merdeka masih jauh dari sukses di tahap-4 ini

Tahap-5: Memasukkan Isu Papua dalam Agenda PBB

Jika diasumsikan nantinya banyak negara di dunia yang mendukung Papua merdeka, itu saja belum cukup. Sebab negara-negara pendukung Papua Merdeka itu harus secara riil memperjuangkannya di forum PBB. Artinya negara-negara pendukung itu harus lebih dulu sukses memasukkan isu Papua dalam agenda PBB.

Dan di PBB, terdapat dua forum politik yang bisa digunakan untuk isu-isu internasional: yaitu forum Sidang Umum (SU) atau UNGA (United Nations General Assembly) yang diselenggarakan setiap tahun pada bulan September; dan forum Dewan Keamanan (DK) yang beranggota 5 anggota tetap dan 10 anggota bergirlir tidak tetap.

Namun untuk memasukkan isu Papua sebagai agenda SU PBB, minimal diperlukan dukungan awal dari 2/3 anggota PBB (artinya perlu dukungan sekitar 128 negara dari total anggota PBB yang berjumlah 193 negara). Dan jujur saja, mendapatkan dukungan awal dari 128 negara itu bukan persoalan enteng. Poin ini yang tidak dipahami oleh hampir semua warga Papua dan organisasi-organisasi Papua yang pro merdeka.

Secara faktual, berdasarkan konstelasi politik dan ekonomi global saat ini, Indonesia memiliki posisi tawar yang sangat kuat untuk melobi dan menjamin dukungan terhadap posisi Indonesia terkait isu Papua. Dan tentu saja, Indonesia akan menggunakan semua kapasitas dan sumber dayanya agar isu Papua tidak dimasukkan dalam agenda SU PBB.

Kesimpulannya, pada tahap-5 ini (memasukkan isu Papua dalam agenda PBB), gerakan pro Papua Merdeka masih sangat jauh dari sukses. Tanda-tandanya pun tidak ada.

Tahap-6: pertarungan di forum PBB

Jika diasumsikan bahwa isu Papua disetujui dimasukkan dalam agenda SU PBB, pertarungan lanjutannya adalah pembahasan di komite-komite PBB dan inipun bisa berlangsung bertahun-tahun. Lobi-lobi untuk jegal-menjegal pasti akan dilakukan oleh kelompok negara yang pro Papua merdeka vs negara-negara yang pro Indonesia.

Dan berdasarkan pengamatan saya, tidak ada satu pengamat politik berkelas dunia yang mengatakan, bahwa Indonesia memiliki posisi yang lembah dalam pertarungan politik di dua forum PBB.

Karena itulah, jika ada beberapa tokoh gerakan separtis Papua (seperti Benny Wenda, Herman Wanggai, Oridek Ap) yang hadir dalam SU PBB di New York, dengan cara mendompleng ke delegasi Vanuatu, sama sekali tidak/belum memiliki pengaruh signifikan ke arah kemungkinan perubahan Resolusi UNGA PBB nomor 2504.

Sebab kehadiran mereka di SU PBB memangkas atau meloncati lima tahapan sebelumnya, yang mesti dilewati secara penuh. Meskipun harus diakui bahwa kehadiran mereka di lingkungan SU PBB dapta dijadikan materi propaganda untuk memberikan kesan kepada simpatisan dan pendukungnya bahwa mereka yang hadir itu serius dalam meperjuangkan Papua merdeka.

Saya tidak yakin bahwa dalam proses kasak-kusuk di lorong-lorong gedung PBB, saat ini dan sekian tahun ke depan, pihak pro merdeka akan mendapatkan dukungan signifikan dari anggota PBB, apalagi jika isu Papua Merdeka itu hanya disuarakan oleh negara sekelas Vanuatu.

Tahap-7: Menganulir Resolusi UNGA PBB nomor 2504

Jika diasumsikan bahwa pro merdeka sukses melewati enam tahapan sebelumnya, maka pertarungan lanjutannya adalah pembahasan mekansime untuk menganulir Resolusi SU PBB tentang papua (UNGA Resolution 2504/XXIV, 19 November 1969), yang sekali lagi, telah mengakui dan melegalkan bahwa Papua adalah bagian dari Indonesia.

Dengan kata lain, menuntut referendum ulang di Papua dapat dikategorikan sikap yang menentang Resolusi UNGA Resolution 2504, yang artinya juga menentang negara-negara yang memutuskan Resolusi 2504 tersebut pada 1969.

Tegasnya, agar Papua dapat merdeka, PBB harus lebih dulu menganulir resolusinya sendiri (UNGA Resolution 2504/XXIV, 19 November 1969), yang secara sah telah mengaku hasil Act of Free Choice (PEPERA) tahun 1969 yang diselenggarakan pada periode Juli-Agustus 1969, yang hasilnya menegaskan secara final bahwa Papua adalah bagian dari Indonesia.

Terkait dengan mekanisme menganulir Resolusi SU PBB (UNGA), saya tidak/belum pernah membaca kasus di mana SU PBB menganulir keputusannya sendiri, khususnya jika resolusi itu berkaitan dengan gerakan separtis dan kedaulatan sebuah negara anggota PBB.

Selain itu, dalam proses perumusan amandemen terhadap resolusi baru/pengganti SU PBB ini, hasilnya bisa juga menjadi bumerang bagi pendukung Papua Merdeka. Sebab boleh jadi resolusi baru/pengganti itu justru semakin memperkuat resolusi lama, yang berarti semakin menegaskan bahwa Papua adalah bagian dari Indonesia.

Menurut saya, jika pun dilakukan voting, maka komposisi dan persentase suara anggota PBB terkait masalah Papua mungkin tidak akan jauh berbeda ketika resolusi Resolution 2504/XXIV disahkan pada 19 November 1969, yakni 84 negara setuju (mendukung posisi Indonesia); 30 Negara abstain/blanko (mungkin cenderung pro Papua); dan 12 negara tidak hadir (belum jelas sikapnya).

Nyaris mustahil

Mengacu pada uraian ketujuh tahapan di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

Pertama, perjuangan Papua Merdeka, hingga saat ini (Juli 2020), sebenarnya masih berkutat di tahap-1 yang masih terus berlangsung. Pro merdeka juga dapat menembus beberapa titik di tahap-2, tahap-3, dan tahap-4, tapi tidak signifikan untuk mengantarkan Papua menjadi negara merdeka. Untuk melewati tujuh tahapan itu secara penuh tentu bukan persoalan enteng, dan pasti bukan overnight solution. Artinya, perjuangan Papua Merdeka tidak mungkin berproses dalam tempo dua atau tiga tahunan.

Kedua, dari tujuh tahapan itu, gerakan Papua Merdeka paling kuat bisa dan relatif sukses mencapai tahapan-4 (mengantongi dukungan banyak negara). Akan sangat sulit memasuki tahap-5, dan semakin sulit menembus tahap-6 apalagi tahap-7. Berdasarkan anasilis data dan konstelasi politik global saat ini, saya sangat yakin bahwa Papua Merdeka nyaris mustahil terjadi.

Ketiga, jikapun diasumsikan ketujuh tahapan di atas dapat dilewati, mungkin harus melewati proses waktu yang bisa mencapai 30 atau 50 tahun lagi ke depan bahkan lebih. Selama periode yang lama itu, ada dua kemungkinan: posisi Indonesia di Papua akan semakin menguat, dan/atau sebaliknya, posisi pro Papua Merdeka juga semakin menguat. Namun hampir pasti, karena periode waktunya cukup lama, sebagian anggota pro merdeka akan mengalami frustasi.

Keempat, di atas kertas, saat ini, Indonesia memiliki hampir semua kartu truf terkait berbagai item isu Papua. Artinya, kalau mau, Indonesia sebenarnya bisa saja bersikap tidak peduli dengan tuntutan apapun dari pihak pro merdeka, dan sambil tetap melanjutkan proses pembangunan di Papua.

Kelima, kelompok dan simpatisan pro Papua merdeka yang berasumsi/berharap seolah-olah Papua akan segera merdeka “besok pagi”, lebih karena mereka tidak memahami ketujuh tahapan di atas. Pada saat yang sama, kelompok pro Indonesia yang terkesan cemas berlebihan seolah-olah “besok pagi” Papua akan segera merdeka dan lepas dari Indonesia, juga lebih karena mereka tidak memahami ketujuh tahapan di atas.

Keenam, setahu saya, Papua adalah satu-satunya kasus separatis di dunia, yang posisinya telah diputuskan melalui Resolusi SU PBB (UNGA) dan ditegaskan bahwa Papua adalah bagian dari kedaulatan di Indonesia.

]]>
https://wikipapua.com/2020/07/26/jika-papua-ingin-merdeka-ini-tahapannya-2/feed/ 0
Flapping the Cendrawasih’s Wing: Constructing Papua, Chasing the Future; by Sapta Raveliola https://wikipapua.com/2020/07/24/flapping-the-cendrawasihs-wing-constructing-papua-chasing-the-future-by-sapta-raveliola-2/ https://wikipapua.com/2020/07/24/flapping-the-cendrawasihs-wing-constructing-papua-chasing-the-future-by-sapta-raveliola-2/#respond Fri, 24 Jul 2020 21:58:54 +0000 https://wikipapua.com/?p=1038 Sapta Raveliola | Papuan Observer

Cendrawasih (Paradise) Bird is one of the most beautiful birds in the world. The diverse colors which support each other create a beautiful art setting on the Cenderawasih fur. The beauty is also similar to Papua, where the Cendrawasih lives a lot and become the icon of Papua Province.

Papua is Indonesia’s largest province located in the central part of Papua Island or the easternmost part of Indonesia’s Papua. The Papua Province, which formerly called Irian Jaya, covered the entire western part of Papua Island. Since 2003, Papua Province has been divided into two provinces. The eastern part retains the name Papua while the western part is given the name West Papua. Papua has an area of ​​316,553.07 square kilometers as the largest province in Indonesia.

Papua also has pretty high economic potential. Papua’s natural wealth is very rich that it has not yet been explored. Papua Province has an area of ​​around 421,981 square kilometers with a population of only around 2.3 million. More than 71% of Papua is a tropical rainforest that is difficult to penetrate because it consists of steep valleys and high mountains, and some of the mountains are covered by snow.

West Papua Province also has tremendous potential, the agriculture, mining, forest products, pearls and seaweed, traditional weave industry (Timor cloth), nutmeg syrup, and nature tourism such as the Cenderawasih Bay National Park, which stretches from the east of the Kwatisore Peninsula to the north of Rumberpon Island with a coastline length of 500 km with 80,000 hectares of coral reefs and 12,400 hectares of ocean.

After the independence of Indonesia, development in Papua has begun along with the development in other regions in Indonesia. Development is a process of change that is carried out continuously towards a better direction through a series of efforts consciously by a nation, state, and government towards modernity in the context of a nation’s planned configuration. That is a dynamic process regulated through the government’s policies that provide opportunities for the realization of an equitable and prosperous society based on state ideology. Mutual support between the government and the private sector is an absolute thing that must synergistically take place. Thus the goals can be arranged in a realistic step that can accommodate aspirations in harmony and complement each other in line with the ability of the budget.

The abundant natural wealth in Papua is very encouraging for investors because of the huge profit opportunity. But the development effort is not as smooth as a falling waterfall, many challenges, and obstacles. The dynamic political situation and geographical conditions in the province of Papua which heterogeneous with deep valleys and hills so that the area becomes painful to reach. It makes the development hampered. Additionally, the complex distribution of the development funds for a country that has large areas makes those potentials are much untouched. Besides, entrepreneurs who wanted to invest require adequate infrastructure such as roads, bridges, ports/docks, airports, and so on as well as security guarantees.

Considering the vast area and geographical location of the Papua which consists of mountains, hills, valleys, and seas, the facilities and infrastructures are needed to connect one region to another and to distribute the results of the natural resources.

“The development of remote areas is one of the main programs that President Joko Widodo has poured in the Nine Goals (Nawa Cita)”

One of the projects that ought to be excellent is the construction of the Trans Papua road, which began in the Habibie’s era and continued by SBY, accelerated by President Jokowi’s government. The development of transportation infrastructure in Papua is the main tool of the Papuan people in mobilizing advancement base, in addition to reducing high costs, it also grows the economy of the local community and its surroundings along the Trans Papua-West Papua road.

The transportation facilities and infrastructure are also used as supporting instruments for many programs such as single-price fuel, cheap food, cheap price materials, also to facilitate citizens’ access to moving and establishing relationships with investors. This transportation development is a concrete step of the government in strengthening the velocity of economic improvement from the edge by realizing equitable and development justice. Therefore in the air transportation sector, 10 airports have been built and developed, each with 6 Airports in Papua Province namely Ewer Airport, Kepi Airport, Ilaga Airport, Oksibil Airport, Nabire Baru Airport and Mopah Airport. While 4 airports in West Papua Province are Rendani Manokwari Airport, Waisai Raja Ampat Airport, Wasior Baru Airport, and Baru Siboru Fak-Fak Airport. To support its energy supply, the Government has launched the Indonesia Bright Program (PIT) in the form of 6 electricity infrastructure in Papua and West Papua Provinces, namely the 2 x 10 MW Orya Genyem Hydroelectric Power Plant, the 2 x 1, 25 MW Prafi Mini Hydro Power Plant, Genyem-Waena – Jayapura High Voltage Air Line 70 kilos along the 174.6-kilometer circuit, 70-kilo Volt Holtekamp-Jayapura High Voltage Air Channel (SUTT) along the 43.4-kilometer circuit, Wamena-Sentani Substation 20 Mega Volt Ampere and Jayapura 20 Mega Volt Ampere Substation.

“The construction of these facilities and infrastructure has a very significant role in increasing the speed of economic growth and the equitable distribution of people’s welfare”

The non-stop development in every foundation of economic growth has a dynamic variant in encouraging the creation of community creativity that arises from the values ​​of cultural and social structures so that physical construction stimulates the development of connections and roles for the modernization of life. This is because infrastructure is a form of public capital that is formed from the investment by the government.

It is normal that in every selection of policies there are different opinions about the development procedures that are steady for Papua and West Papua, but it factually shows that what the Government has done and chosen for development in Papua and West Papua is the best in the current conditions.

The acceleration of development carried out during Jokowi’s administration was an effective and professional breakthrough. This can be seen with the decreasing poverty rate in Papua and West Papua. In 2012, poverty in Papua Province by 30.66% decreased to 27.74% in 2018 and in West Papua Province from 27.04% in 2012 to 23.01% in 2018.

Public awareness to improve the comfort and better quality of life greatly support the success of infrastructure development in Papua and West Papua. A nation and state life require a cohesiveness between the community and the Government.

A decision is a meeting between the consideration of the main factors (focus) with the surrounding environmental factors. The decision of development must be professionally grounded in the moral values ​​of the state and national social responsibility. As a nation that holds firmly the Pancasila, of course, our national responsibility must be upheld above the interests of individuals and groups.

Differences in perceptions and choices in decisions are a gift from God Almighty (the first principle of Pancasila) so that differences must be addressed with respect to humanity that is just and civilized (the second principle of Pancasila). Because it is a noble way to resolve differences in development choices by upholding the unity of Indonesia above the interests of groups and groups (the 3rd principle of Pancasila) through deliberation and consensus through state rules (the 4th principle of Pancasila) so that the glory of the Nation and the State of Indonesia as the goals of the nation means social justice for all Indonesian people (the 5th principle of Pancasila. Glory Papua! Glory Indonesia!

]]>
https://wikipapua.com/2020/07/24/flapping-the-cendrawasihs-wing-constructing-papua-chasing-the-future-by-sapta-raveliola-2/feed/ 0
Menelusuri Sejarah Seth Rumkorem https://wikipapua.com/2020/07/22/menelusuri-sejarah-seth-rumkorem/ https://wikipapua.com/2020/07/22/menelusuri-sejarah-seth-rumkorem/#respond Wed, 22 Jul 2020 12:09:41 +0000 https://wikipapua.com/?p=1017 Oleh Benny Lapago | Den Haag, 22 Juli 2020

Pada Nopember 2019, tiba-tiba di kalangan sebagian komunitas Papua di Belanda sempat beredar kabar begini: Seth Jafet Rumkorem masih hidup, dengan keterangan yang menegaskan bahwa berita yang menyebutkan Rumkorem meninggal pada Oktober 2010 adalah hoax. Betulkah?

Artikel ini mencoba menelusuri dan mengulas perjalanan hidup Rumkorem secara kronologis.

Kelahiran Biak dengan nama Seth Jafeth Rumkorem

Semua sumber sepakat Rumkorem lahir di Biak pada 05 Juni 1933, dan punya sembilan orang anak. Tidak ada keterangan apakah kesembilan anak itu berasal dari satu ibu atau ada istri lain.

Bernama lengkap Seth Jafeth Rumkorem (nama Seth kadang ditulis menjadi Zeth, sementara Rumkorem biasa ditulis Roemkorem). Berdasarkan nama yang tercamtum dalam teks Deklarasi Kemerdekaan Papua Barat 1 Juli 1971, tertulis Seth J. Rumkorem.

Aktif sebagai prajurit TNI

Semua sumber sepakat bahwa Rumkorem pernah aktif sebagai prajurit di TNI (Tentara Nasional Indonesia). Namun saya belum pernah ketemu dokumen yang menjelaskan periode aktifnya di TNI.

Sebagian sumber yang belum terkonfirmasi menyebutkan, Rumkorem mengikuti Sesko TNI di Bandung pada tahun 1964 (sumber lain menyebutkan tahun 1969). Dan tidak ada keterangan terkait pangkat terakhirnya di TNI ketika memutuskan keluar dari TNI.

Jika diasumsikan benar Rumkorem pernah mengikuti pendidikan Sesko di Bandung, berati pangkatnya sempat mencapai kolonel. Namun belakangan, dalam berbagai dokumen milik gerakn-gerakan Papua Merdeka, Rumkorem sering disebut berpangkat Brigadir Jenderal (Brigjen).

Membelot dari TNI

Pada sekitar 1970, Rumkorem melakukan perjalanan dinas ke Papua. Penugasan itu konon untuk melaksanakan penyelidikan dan pemeriksaan keuangan kesatuan TNI di Wamena. Ia terbang dari Jakarta/Surabaya ke Wamena, Papua, dan memutuskan tidak kembali lagi.

Dalam perjalanan ke Wamena itu, dengan sejumlah alasan subjektif, Rumkorem memutuskan keluar dari TNI AD dan bergabung dengan pemuda-pemuda yang memperjuangkan kemerdekaan Papua, yang ketika itu bermarkas di wilayah Scothiau (kini bernama Skouw).

Deklarasi Kemerdekaan 1 Juli 1971

Dari Wamena, Rumkorem kemudian bergeser ke Jayapura (tidak jelas apakah naik pesawat atau berjalan kaki).

Selanjutnya dari Jayapura bergerak ke Scothiau (Skouw), diantar seorang kurir laut, lelaki Papua asal Teluk Saireri. Perjalanan ini ditempuh dengan naik perahu. Sebab saat itu, belum ada akses jalan darat yang menghubungkan antara Jayapura (ketika itu bernama Hollandia) dengan Skouw. Catatan: saat ini, jalan akses darat Jayapura-Skouw berjarak sekitar 60 km, dapat ditempuh sekitar 60 s.d 90 menit.

Rumkorem tiba di Scothiau (Skouw), pada 17 Juli 1970. Dan menurut seorang sumber, di wilayah Scothiau saat itu, ada tiga perkampungan.

Catatan: Markas Victoria yang bisa disingkat Mavicatau Marvic terletak di Scothiau (Skouw). Berdasarkan hasil bincang-bincang dengan sejumlah aktivis Papua di Belanda, Markas Victoria jangan dibayangkan seperti sebuah pusat komando dalam arti yang sesungguhnya. Markas Victoria itu terletak di wilayah yang saat ini disebut Scothiau (Skouw), di bagian utara perbatasan antara Indonesia-PNG. Di wilayah Skouw pada 1970-an bahkan mungkin belum bangunan permanen. Perhatikan foto ilustrasi artikel ini: lokasi atau panggung di mana Seth Rumkorem membacakan Deklarasi Kemerdekaan adalah panggung dari potongan-potongan kayu yang dibuat menyerupai rumah kebun.

Selama berada di Scothiau (Skouw), antara 17 Juli 1970 hingga 28 Juni 1971, Rumkorem dan Jacob Prai diklaim berhasil mengkonsolidasikan serta membangun dan memperkenalkan Markas Victoria sebagai pusat perencanaan dan pengaturan strategi perjuangan Papua Merdeka di bidang politik dan militer.

Dengan latar belakang militernya, Rumkorem terus melatih beberapa pemuda Papua untuk menjadi opsir-opsir Tentara Papua, di antaranya Simon Imbiri, Habel Atanay, Jereth Wayoi, John Upuya, Aquila Major, Sepi Wayoi, Philemon Yarisetouw, Yosephat Wayoi, Marthen Tabu, Jance Demetouw.

Gagal menggugat Resolusi PBB 2504, 19 November 1969

Selama berada di Skouw, Rumkorem juga aktif berkorespondensi dengan jaringan tokoh Papua di luar negeri, terutama di Belanda, salah satunya dengan Nicholas Jouwe, yang ketika itu menjabat Ketua National Liberation Council (NLC).

Ketika kemudian Resolusi Sidang Umum PBB (UNGA/United Nations General Assembly) Nomor 2504 disahkan pada 19 November 1969, berbagai tokoh Papua di luar negeri mencoba menggugatnya. Nicholas Jouwe, Ketua National Liberation Council (NLC) sempat datang dan tinggal beberapa bulan di New York, Amerika Serikat untuk menggugat hasil hasil PEPERA (Act of Free Choice) 1969, namun gagal.

Nicholas Jouwe kemudian kembali ke Belanda dengan putus asa. Setibanya di Belanda, Nicholas Jouwe menemukan surat yang dikirim oleh Rumkorem-Prai dari Markas Victoria, yang berisi dua hal: (1) Menanyakan kepada Jouwe sebagai Ketua NLC apakah ada kemungkinan penggugatan terhadap hasil PEPERA di PBB; (2) Menawarkan kepada Nocolas Jouwe untuk menjadi Kepala Negara Papua Barat.

Terhadap surat Rumkorem-Prai tersebut, Nicolas Jouwe menjawab dengan tegas (berdasarkan penuturan Nicolas Jouwe, sekitar 21 tahun kemudian, pada perayaan 30 tahun hari Bendera Bintang Kejora, 1 Desember 1991 di Belanda):  “Kedua Adik Rumkorem dan Prai. Tidak ada kemungkinan untuk kita menggugat; satu-satunya jalan adalah Proklamasi Kemerdekaan Papua Barat secara sepihak. Adik berdua masih muda. Pimpin perjuangan ini. Adik Rumkorem, kau, kakak usulkan sebagai presiden; dan adik Prai kau sebagai Ketua Senat,” begitu jawaban Nicolas Jouwe terhadap surat yang diterimanya dari Markas Victoria.

Berdasarkan jawaban dari Nicholas Jouwe itulah, Rumkorem-Prai akhirnya menyusun rencana deklarasi Kemerdekaan Papua secara sepihak seperti yang diusulkan oleh Nicolas Jouwe. Dan awalnya lokasi deklarasi akan dilaksanakan di Holamba, Waris. Bukan di Markas Victoria (catatan: tidak ada keterangan kenapa deklarasi kemerdekaan itu diagendakan sejak awal di Holamba, bukan di Markas Victoria). Boleh jadi karena Waris merupakan kampung asal Jacob Hendrik Prai.

Dalam sebuah rapat yang diselenggarakan di Markas Victoria pada 25 Juni 1970, perserta rapat menyetujui proposal yang diajukan oleh Joweni dan Luis Nussy terkait tiga hal: pertama, Rumkorem dan Prai ditunjuk sebagai deklarator; kedua, tangga 1 Juli ditetapkan sebagai hari pembacaan Proklamasi Kemerdekaan Papua Barat; dan ketiga, lokasi deklarasi kemerdekaan Papua Barat adalah di Holamba, Waris. Bukan di Markas Victoria, Scohtiau (Skouw).

Berdasarkan hasil keputusan rapat tanggal 25 Juni 1971 itu, Rumkorem-Prai kemudian mengerahkan pasukannya, dipimpin oleh Simon Imbiri, untuk menguasai Halomba, di kecamatan Waris, yang akan dijadikan lokasi deklarasi kemerdekaan Papua Barat pada 1 Juli 1971 di pagi hari.

Namun rencana penguasaan Holamba-Wasir meleset. Terjadi kontak senjata antara pasukan Papua Merdeka yang dipimpin oleh Opsir Simon Imbiri dengan Satuan Tentara Indonesia di Pos Waris. Akibatnya pasukan Papua Merdeka terpaksa mengundurkan diri, karena kekuatan personil dan peralatan perang yang tidak berimbang. Tercatat dua pemuda Papua Merdeka yang celaka dalam kontak senjata itu, yaitu John Upuya dan Josephat Wayoi. Keduanya berhasil dievakuasi ke Imonda di wilayah Papua New Guinea (PNG), kemudian dijemput oleh seorang Patrol Officer (Bestuur) dari Pemerintahan Administasi Australia, Mr. Bob Lock.

Akibat lanjutannya, rencana upacara dan pembacaan Deklarasi Kemerdekaan Papua Barat pada 1 Juli 1971 di Holamba, Waris oleh Rumkorem-Prai batal dilaksanakan. Dan pasukan Papua Merdeka yang dipimpin oleh Opsir Simon Imbiri mundur kembali ke Markas Victoria, di Scohtiau (Skouw).

Naskah proklamasi kemerdekaan Papua, yang dibacakan Rumkorem bertanggal 1 Juli 1971.

Dalam perkembangannya, upacara pembacaan deklarasi kemerdekaan Papua Barat 1 Juli 1971 itu baru dapat dilaksanakan secara resmi sekitar dua tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 12 Februari 1973 (dua belas Februari, tahun sembilan belas tujuh puluh tiga), di Markas Victoria, Scothiau. Artinya, deklarasi itu memang bertanggal 1 Juli 1971, namun baru dibacakan pada 12 Februari 1973.

Poin lain yang juga sangat menarik, dalam naskah deklarasi itu, tertulis Seth J. Rumkorem sebagai Presiden. Karena itulah, sebagian sumber menyebutkan bahwa Rumkorem adalah “presiden pertama” Papua. Namun yang menarik, meskipun rapat tanggal25 Juni 1970 menyepakati bahwa Rumkorem dan Prai ditunjuk sebagai deklarator, namun di naskah itu hanya tercamtum nama Seth J. Rumkorem, dan tanpa nama Jacob Hendrik Prai.

Aktif melobi di PNG

Beberapa sumber menyebutkan, setelah realisasi pembacaan Deklarasi Kemerdekaan pada 12 Februari 1973, Rumkorem bersama aktivis Papua lainnya aktif melakukan pertemuan dan lobi-lobi dengan Pemerintah PNG, pada periode tahun 1974. Namun lobi-lobi itu tidak membuahkan hasil yang signifikan.

Sementara itu, posisi Markas Victoria di Skouw semakin terjepit. Dan keamanan para pejuang Papua Merdeka sangat rentan. Karena itulah, muncul inisiatif untuk meninggalkan Markas Victoria.

Dari Markas Victoria berlayar menuju Rabaul PNG

Sekitar tanggal 14 September 1982, Seth Rumkorem bersama 9 orang lainnya, antara lain Luis Nussi, meninggalkan Skouw menuju Rabaul, PNG dengan menggunakan kapal motor (bermesin 40 PK), dan menempuh perjalanan laut non-stop selama 16 hari. Karena penumpang di perahu berjumlah 10 orang, makanya dikenal sebagai “Kelompok-10” (saya memiliki semua nama dari Kelompok-10 itu, namun tidak disebutkan di sini, karena alasan keamanan).

Pada 30 September 1982: rombongan “Kelompok-10” itu tiba di Rabaul (sebuah kota di PNG yang waktu itu masuk wilayah West Briton atau New East Briton).

Tidak banyak yang diketahui tentang kegiatan Rumkorem dan anggota “Kelompok 10” selama berada di Rabaul PNG selama kurang lebih 3 tahun (1982-1985).Beberapa sumber menyebutkan bahwa “Kelompok-10” pecah kongsi di Rabaul.

Namun secara umum, selama periode (1982-1985) ini, melalui beberapa foto, Rumkorem melakukan kegiatan atau pergerakan, seperti tergambar melalui beberapa foto berikut:

Dari Vanuatu ke Sydney Australia

Foto Seth Rumkorem (kiri) yang dipublikasikan pada 15 Mei 1985, saat akan terbang dari Vanuatu menuju Sydney menggunakan pesawat Polynesian Air.

Port Villa Declaration” di Vanuatu, 1985

Foto Seth Rumkorem (kiri, berkacamata) bersama Jacob Prai (kanan, berkumis) saat mendantangi “Port Villa Declaration” di Vanuatu pada 11 Juli 1985

Port Villa Declaration” di Vanuatu 1985 adalah pertemuan yang diinisasi oleh Barak Maautamate Sope (kemudian menjadi PM Vanuatu), yang bertujuan mempersatukan berbagai faksi perjuangan Papua Merdeka, dalam hal ini antara dua tokoh kunci OPM ketika itu, yakni Jacob Hendrik Prai dan Seth Rumkorem.

Yang menarik, karena penandatanganan “Port Villa Declaration” oleh Jacob Hendrik Prai dan Seth Rumkorem belakangan diklaim sebagai bentuk pengakuan bahwa Jacob Hendrik Prai dan Seth Rumkorem telah menyetui bergabung dengan organisasi ULMWP (United Liberation Movement of West Papua).

Klaim bahwa OPM bergabung dengan ULMWP itu diperkuat dengan pernyataan Jacob Hendrik Prai, yang disampaikan dari rumahnya di Swedia pada 28 Desember 2017 (setelah bertemu dengan Benny Wenda), di mana Jacob Prai menegaskan, “I as the founder of the Free West Papua Movement or Organisasi Papua Merdeka (OPM) want to acknowledge and support the United Liberation Movement of West Papua that it is a political organisation that carries the spirit of OPM that will continue the struggle and fulfill its final mission, which is establishing the full independence and sovereign Republic of West Papua.”

Namun pernyataan Jacob Prai tentang ULMWP tidak diakui oleh para aktivis OPM. Dan konflik atau perseteruan antara ULMWP dan OPM masih berlanjut hingga saat ini.

Sebagai kilas balik, seperti disebutkan sebelumnya, pecah kongsi antara Jacob Hendrik Prai dan Seth Rumkorem konon sudah mulai terjadi sejak 1973. Indikatornya, naskah Deklarasi Kemerdekaan Papua yang bertanggal 1 Juli 1971 (namun dibacakan pada 12 Februari 1973) hanya mencamtumkan nama Seth J. Rumkorem (tanpa ada nama Jacob Hendrik Prai).

Rumkoren ke Belanda seorang diri tanpa membawa keluarga, 1987

Ketika datang ke Belanda, Rumkoren datang seorang diri dengen menempuh perjalanan dari Rabaul ke PNG kemudian ke Vanuatu lalu ke Athena, Yunani. Bermukim di Yunani selama sekitar 2 tahun, sebelum masuk ke Belanda sekitar tahun 1987.

Sebagai gambaran, rute perjalanan hampir semua warga Papua yang ingin ke Belanda pada tahun 1980-an umumnya melalui jalur Athena, Yunani. Salah satu pertimbangannya karena Pemerintah Belanda tidak ingin menerima langsung para pelarian tokoh Papua yang langsung datang dari Papua atau negara lain di Pasifik. Umumnya mereka dibiarkan tinggal dulu di Yunani sekitar 1 atau dua tahun dengan status pengungsi, sebelum akhirnya dipanggil secara remsi untuk masuk/datang ke Belanda.

Dan begitu masuk ke Belanda, umumnya melalui dan menempuh jalur darat dari Athena ke Belanda, hanya perlu beberapa bulan untuk mendapatkan status warga negara Belanda. Karena berdasarkan peraturan imigrasi di Belanda, orang Indonesia, khususnya warga Papua dan Maluku yang lahir sebelum tahun 1949, dikategorikan sebagai warga negara Hindia Belanda. Jadi semua warga/penduduk bekas kolonial yang bernama Hindia Belanda, kalau datang ke Belanda dan bisa menunjukkan bukti kelahiran sebelum tahun 1949, hanya perlu sedikit proses administrasi untuk menjadi warga negara Belanda.

Periode 1987-2010

Sejak datang sampai meninggal dunia, Rumkorem tinggal dan hidup di Belanda selama sekitar 13 tahun. Namun kegiatan selama periode 13 tahun itu belum banyak dipublikasikan (masih sedang dilakukan riset lanjutan untuk periode ini, dan hasilnya nanti akan dimasukkan dalam proses editing lanjutan terhadap artikel ini).

Foto prosesi pemakaman Seth Rumkorem di pemakaman Nieuw Eykenduynen Cemetry, Kamperfoeliestraat 2a, Den Haag, Belanda pada 28 Oktober 2010

Rumkorem meninggal 12 Oktober 2010

Di Belanda Seth Rumkorem tinggal seorang diri (tanpa keluarga) di sebuah apartemen. Ketika meninggal dunia pada Oktober 2010, keluarganya (istri dan anak-anaknya) tinggal di Manduser, Bosnik, Biak Timur, Papua Barat.

Dalam sebuah postingan lama di salah satu platform media sosial, Simon Sapioper, Ketua NGRWP menulis ucapan duka di salah satu akun media sosialnya bahwa dirinya sempat mengucapkan duka atas meninggalnya Rumkorem pada 12 Oktober 2010, yang meninggal di rumah kediamannya di Jalan Bernhardstraat 57-1, Wageningen (sekitar 110 km ke arah timur dari Den Haag).

Sapioper berceria, kebetulan waktu itu, dirinya menelepon Rumkoren berkali-kali untuk suatu keperluan. Karena tidak dijawab/diangkat teleponnya, akhirnya Sapioper berinisiatif berkunjung langsung ke rumah Rumkoren, dan betapa kagetnya ia menemukan Rumkoren sudah meninggal seorang diri di dalam rumahnya. Kejadian itu kemudian dilaporkan kepada Polisi. Lalu Polisi Belanda melakukan pemeriksaan TKP di rumahnya pada 16 Oktober 2010. Hasil penyelidikan Polisi menyimpulkan, Rumkorem telah wafat sekitar empat hari sebelum tanggal 16 Oktober (yakni 12 Oktober 2010).

Karena itulah, dalam catatan resmi beberapa organisasi Papua di Belanda, terdapat perbedaan tanggal meninggalnya Seth Rumkorem. Sebagian menyebutkan tanggal 16 Oktober 2010 (mengacu ketika jenazah Rumkorem ditemukan meninggal seorang diri di dalam rumahnya). Sebagian lagi menyebutkan tanggal 12 Oktober 2010 (mengacu pada keterangan polisi yang mengatakan, bahwa Rumkorem meninggal empat hari sebelum tanggal penemuan jenazahnya pada 16 Oktober 2010, yakni tanggal 12 Oktober 2010).

Konfirmasi bahwa Seth Rumkorem benar-benar meninggal pada 12 Oktober 2019 juga diperoleh dari tiga narasumber lainnya, yang hadir dalam prosesi pamakaman jenazah Seth Rumkoren di pemakaman Nieuw Eykenduynen Cemetry, Kamperfoeliestraat 2a, Den Haag, yang dihadiri oleh hampir semua tokoh OAP di Belanda pada saat itu.

Pemakaman jenazah Rumkorem

Pada 29 Oktober 2010, prosesi resmi pemakaman jenazah Seth Rumkorem dilaksanakan di pemakaman Nieuw Eykenduynen Cemetry, Kamperfoeliestraat 2a, Den Haag.

Foto prosesi pemakaman Seth Rumkorem di pemakaman Nieuw Eykenduynen Cemetry, Kamperfoeliestraat 2a, Den Haag, Belanda pada 28 Oktober 2010

Rumkorem diisukan masih hidup

Seperti disebutkan di awal artikel ini, pada Nopember 2019, tiba-tiba di kalangan sebagian komunitas Papua di Belanda sempat beredar kabar begini: Seth Jafet Rumkorem masih hidup, dengan keterangan bahwa berita yang menyebutkan Rumkorem meninggal pada tahun 2020 adalah hoax.

Kabar itu mengacu pada sebuah surat dari seorang wanita bernama Vebby Yune Agustina Rumkorem, S.TH, yang mengklaim dirinya sebagai anak/putrinya Rumkorem. Surat itu (bertanggal 28 Oktober 2019) dikirim kepada seorang pejabat di Jakarta dan memohon agar difasilitasi untuk memulangkan ayahnya (Seth Rumkorem) dari Belanda ke Indonesia. Di suratnya, Vebby menulis catatan bahwa berita meninggalnya Seth Rumkorem sekitar 10 tahun (2010) lalu adalah hoax.

Begitu mendengar kabar itu, saya langsung menghubugi beberapa orang asli Papua yang sudah lama berdomisili di Belanda (sebagian besar di antaranya sudah menjadi warga negera Belanda) untuk memastikan kabar itu, dan semua narasumber memastikan Rumkorem telah meninggal dunia, sejak Oktober 2010, ditemukan meninggal dunia di rumahnya di Jalan Bernhardstraat 57-1,Wageningen (berjarak sekitar 110 km ke arah timur dari Den Haag). Dan meninggalnya Rumkorem itu dibuktikan dengan foto-foto prosesi pemakamannya, serta lokasi makamnya, yang hingga saat ini kadang dikunjungi oleh pendukungnya, khususnya pada 1 Juli, untuk melakukan tabur bunga.

Posisi kuburan Rumkorem di pemakaman Kamperfoeliestraat 2a, Den Haag, Belanda (foto diambil pada Juli 2020)

Seorang narasumber mengatakan, boleh jadi Vebby Yune Agustina Rumkorem adalah cucu atau mungkin ponakan (bukan anak) dari Rumkorem; tapi juga terbuka kemungkinan Vebby dimotivasi penipuan karena ingin pergi dan tinggal di Belanda. Sumber itu mengatakan, “Secara pribadi, saya mengenal semua anak Seth Rumkorem yang berjumlah sembilan anak, dan tidak ada satupun anaknya yang bernama Vebby Yune Agustina Rumkorem”.

Seorang sumber lain berkomentar, pandangan sebagian warga Papua bahwa Seth Rumkorem masih hidup, boleh jadi karena terpengaruh oleh paham pergerakan Karori, yang populer di kalangan warga Biak, Papua. Paham Karori ini adalah semacam gerakan mesianik, yang mirip dengan doktrin/mitos ratu adil (dalam tradisi Jawa) atau Imam Mahdi (dalam Islam terutama Syiah) atau Mesiah (dalam Kristen).

(To be updating)

——————-

Catatan: Artikel ini disusun berdasarkan beberapa kali wawancara langsung dengan sejumlah tokoh Papua di Belanda pada periode 2019-2020 (karena faktor keamanan nama sumber tidak disebutkan). Sumber lain adalah artikel berjudul “Brigjen Seth J. Rumkorem Membelot dari TNI AD dan Proklamirkan Papua Barat”, yang ditulis Constantinopel Ruhukail dan dimuat di website Suara Papua, 1 Juli 2020. Constantinopel Ruhukail menulis artikelnya antara lain dengan mewawancarai Mr. Rudi Raka, Staf Intelijen Kepresidenan Pemerintahan Rumkorem-Prai 1973. Constantinopel Ruhukail adalah redaktur majalah “FAJAR MERDEKA” dan “PRO-PATRIA” yang diterbitkan Kementerian Penerangan Pemerintahan Revolusi Sementara Republik Papua Barat (PRS-PB), di Markas Victoria – Nagasawa, Ormu Kecil, pada tahun 1982.

]]>
https://wikipapua.com/2020/07/22/menelusuri-sejarah-seth-rumkorem/feed/ 0
The UN Verified Papua as Part of Indonesia Through “Act of Free Choice” (Pepera), by Antonio Rumbiak https://wikipapua.com/2020/07/21/the-un-verified-papua-as-part-of-indonesia-through-act-of-no-choice-pepera-by-antonio-rumbiak/ https://wikipapua.com/2020/07/21/the-un-verified-papua-as-part-of-indonesia-through-act-of-no-choice-pepera-by-antonio-rumbiak/#respond Tue, 21 Jul 2020 14:39:49 +0000 https://wikipapua.com/?p=1011 Antonio Rumbiak | Papua Problem Observer

Papua is certainly part of Indonesia, not just words, but facts both historically and hereditary. Judging from hereditary values, there are song lyrics “From Sabang to Merauke lined up with Islands, connecting to be one that is Indonesia”. The lyrics are already well-known to the Indonesian people. In the lyrics, it is written that Indonesia is ranged from the tip of Sumatra to the tip of Papua. Meanwhile, assessing from the historical value, it will be seen clearly that Papua is one body with the motherland Indonesia because the entry process of Papua has been approved by the United Nations (UN).

The long history of the determination of people’s opinions, so-called the Pepera, has been held from July 24 to August in 1969. At first, the UN sent 50 staffs to Papua, but then this number was reduced by half, which finally only set as many as 16 people including administrative staff.

UN agreed to limit the number of its officials so that those who supervise the Pepera only in small numbers. So that the perception about the UN was under pressure from Indonesia is not correct. This Pepera supervisory mission began on August 23, 1968.

The implementation of Pepera was carried out in 8 districts, i.e Jayawijaya, Merauke, Paniai, Fakfak, Sorong, Biak, Manokwari, and Jayapura which was attended by 1026 members of the Pepera Deliberation Council (DMP), representing the number of Papuans who at that time totaled 809,327 people.

The DMP consists of 400 people representing traditional elements (tribal leaders), 360 people representing regional elements, and 266 people representing elements of political organizations and other social organizations. The results of Pepera, which were held in eight West Irian Districts (Papua), decided and determined that Papua is an absolute part of the Unitary Republic of Indonesia.

“De facto, the Papuan people choose to integrate with the Unitary Republic of Indonesia”

Then the results were agreed with the signing of all those who present at the meeting. De facto, the Papuan people choose to integrate with the territory of the Republic of Indonesia. The release of UN Resolution number 2504 at the General Session on 19 November 1969 stated that 82 countries were agreed, there were 30 abstentions and no one disagreed. This has shown that the international community has recognized the validity of the Pepera.

The UN seemingly considered the consequences of democratic democracy with the pros and cons to the outcome of the Pepera. Dissenting opinions between those who accept the decisions and who oppose it. The prosecution to the legitimacy of Pepera by the Free Papua Movement (OPM) is considered to be a scapegoat effort by seeking historical loopholes used for heir interests.

The determination of people’s opinions or Pepera in 1969 was carried out following the regional conditions and community at that time. Which was not possible to be done by “one man, one vote”. If this is seen as a deficiency or inability, the United Nations has in fact accepted the legitimacy of the Pepera through resolution No. 2504. Moreover, the international community fully recognizes and none of the parties refused.

Based on that, the UN resolution about the results of the Pepera should be adopted as a valid document because the determination has been fulfilled. Although it was done with the representative system, the results of the Pepera was quite received as a final decision.

In the same case as in East Timor, it shows that despite objections about the determination result. Tn the end, the UN remained in its stance, namely stated firmly if the people of East Timor had chosen to separate from the Republic of Indonesia. This choice was immediately recognized by the international community, despite the objections of many parties.

UN Resolution No. 2504 is a clear statement of the UN’s recognition of the sovereignty of the Republic of Indonesia to Papua. What needs to be underlined is that any attempt to separate from the Republic of Indonesia is an act of resistance to the applicable international law. Including the UN charter itself.

From this, we can see that the results of the Pepera have been final and valid, although several parties consider it a defective related to the results. even more, the UN stated that the attempt to separate from the territory of the Republic of Indonesia could be indicated as a form of resistance to the United Nations.

The results of the Pepera have settled, final decision, and can be accounted for de facto de jure. The joining of Papua was also assumed to have existed before Indonesia’s independence was proclaimed, which was confirmed by the existence of a map made by the Dutch East Indies government in 1931.

So there is no longer doubt about Papua which is part of the Republic of Indonesia anymore. Moreover, the people of Papua themselves say that Indonesia is the land to spill their blood for. Furthermore, they are also stated that they gained independence in Indonesia so there was no reason to seek other independence.

]]>
https://wikipapua.com/2020/07/21/the-un-verified-papua-as-part-of-indonesia-through-act-of-no-choice-pepera-by-antonio-rumbiak/feed/ 0
Trans Papua, “Trans Jokowi” https://wikipapua.com/2020/07/19/papua-trans/ https://wikipapua.com/2020/07/19/papua-trans/#respond Sun, 19 Jul 2020 07:47:12 +0000 https://wikipapua.com/?p=999 Trans-Papua atau Papua Trans merupakan mega proyek infrastrtuktur, yang memiliki nilai strategis dalam proses pembangunan berkelanjutan dan masa depan Papua dan orang Papua. Proyek jalan ini membentang sekitar 3.500 km dari Sorong di utara bagian barat ke Merauke di selatan bagian timur pulau Papua.

Dan ada beberapa catatan strategis menarik terkait trans Papua ini:

Pertama, semua tahu, mega proyek Trans Papua digenjot habis di era presiden Jokowi (Joko Widodo). Dengan kata lain, di tangan Jokowilah, semua kebijakan strategis untuk Papua telah-dan-akan dieksekusi secara maksimal. Jangan heran, jika Trans Papua (meskipun sebagian di antaranya dibangun di era sebelumnya), nantinya akan dikenang dengan “Trans Jokowi”. Dan hampir pasti, terlepas dari berbagai kritik, Trans Papua akan menjadi salah satu trade mark atau legacy era kepresidenan Jokowi.

Kedua, Trans Papua telah-sedang-dan-akan dikenang sebagai tonggak eksekusi kebijakan, yang menghilangkan stigma keterisolasian berbagai kota/titik di di Papua. Stigma tentang orang gunung dan warga pesisir di Papua, pada akhirnya, akan terkikis habis. Sebab Trans Papua telah membuka akses bagi warga Pesisir untuk menjelajahi wilayah pegunungan. Sebaliknya, orang gunung punya akses untuk berpelesiran ke wilayah pantai.

Ketiga, secara ekonomi, di negara manapun di dunia ini, jalan akses selalu menjadi awal kebangkitan dan dinamika ekonomi dan interaksi sosial, yang selanjutnya akan membuka cakrawala bagi warga yang terisolasi (landlock) di pegunungan. Dengan demikian, menciptakan harga barang yang normal dan rasional (sering dijadikan alasan pembangunan Trans Papua) hanya bagian kecil dari manfaat ekonomi dari pembangunan Trans-Papua. Di sepanjang Trans-Papua itu nantinya akan muncul komunitas atau perkampungan baru, pusat-pusat rest-area, yang tentu saja akan menghidupkan geliat ekonomi penduduk di sekitarnya.

Keempat, dari segi keamanan, Trans-Papua adalah sarana alami yang bersifat strategis untuk memaksimalkan pengamanan seluruh wilayah daratan Papua. Sebab pergerakan dan proses deployment aparat keamanan akan lebih efisien. Bahkan secara strategis, seperti sering saya sampaikan dalam artikel-artikel sebelumnya, bahwa Trans Papua akan berfungsi sebagai penghalang yang mempersempit ruang gerak dan daya jelajah kelompok kriminal, yang selama ini diuntungkan oleh keterisolasian berbagai kota/titik di Papua. Tidak aneh, kelompok yang paling lantang menentang pembangunan Trans-Papua adalah anasir kelompok kriminal, karena mereka menyadari betul, kebebasan mereka untuk bergerak di wilayah hutan pegunungan selama ini akan sangat terganggu/terbatasi oleh Trans-Papua.

Kelima, saya malah curiga, penolakan terhadap Otsus Jilid-II yang akhir-akhir ini marak disuarakan oleh berbagai aktvis Papua di Papua, atau aktivis Papua di luar negeri, sebenarnya hanya merupakan “sasaran antara” untuk menghadang dan menghambat finalisasi Trans-Papua. Karena sekali lagi, jika Trans-Papua dituntaskan, dan nantinya akan disusul proyek turunannya (trans yang membuka akses untuk-dan-antar semua kabupaten/kota di Papua), tentu akan sangat mempersempit ruang gerak para kelompok kriminal, yang selama ini menjadikan keterisolasian wilayah pegunungan Papua sebagai “surga pergerakan”. Dan surga keterisolasian itu akan segera berakhir.

Benny Lapago | Den Haag, 19 Juli 2020

]]>
https://wikipapua.com/2020/07/19/papua-trans/feed/ 0
“Recognizing Papua by Data (Part#2)” by Jaleswari Pramodhawardani https://wikipapua.com/2020/07/18/recognizing-papua-by-data-part2-by-jaleswari-pramodhawardani/ https://wikipapua.com/2020/07/18/recognizing-papua-by-data-part2-by-jaleswari-pramodhawardani/#respond Sat, 18 Jul 2020 19:13:34 +0000 https://wikipapua.com/?p=994 Jaleswari Pramodhawardani| The Fifth Deputy Politic, Law, Defense, Security, and Human Rights Presidential Staff Office

Regarding the first stigma, is it true that the President only built infrastructure and ignored human resources in Papua?

“The latest data from the UGM Papua Task Force shows that the most violent perpetrators are armed separatist groups.”

Many human development policies have been made by President Jokowi, such as education, health, local economic empowerment, infrastructure, digitalization. The one-price fuel policy in Papua, for example, is a manifestation of social justice for all Indonesian people.

Papua is even included in the national priority program. Presidential Decree No. 9 of 2017 about the Acceleration of Welfare Development in Papua and West Papua Provinces may be called President Jokowi’s landmark policy. With this instrument, the President leads the orchestration of development in Papua by involving dozens of ministries and institutions as well as regional governments. The main target is welfare development.

Then, do this series of policies have a positive impact on Papua? Let’s look at objective indicators. The Human Development Index (HDI) for example. For the 2014-2018 range, the province of West Papua rose from 61 to 64 points. Rates for the Province of Papua increased from 57 to 60 points. The growth of Jayapura, Sorong, and Mimika Regency is also above the national average.

Another indicator is the stunting rate. Between 2013 and 2018, from 40.1 percent fell to 32.9 percent for Papua Province. For West Papua, from 44.6 percent to 27.8 percent. That is just an example. The data from the Central Bureau of Statistics and other supporting data are of course openly tested and debated. It is important to present a healthy dialogue space in recognizing Papua more deeply today.

Then the second stigma is that the central government is often oppressive and violates human rights in Papua. This accusation is biased and there is certainly no policy that mandates the use of excessive force. Besides, the President emphasized that the management of the Papua problem must be based on welfare, culture, dialogue, and not merely a security approach.

If we see the selection of Indonesia as a member of the UN Human Rights Council for the period 2020-2022, the world must be recognized that biased accusation. Amid a bad campaign of human rights violations by several parties, supports for Indonesia even beat Japan and South Korea. Thus, the stigma of the government acting repressively and violating human rights in Papua is baseless.

What is wrong?

Two things need to be a point of reflection for all of us in interpreting the riots in Papua some time ago: the management of Papua in general, namely regional government control that has not been maximized, and the sense of ownership between development and the people of Papua.

First, the role of local government in this matter needs to be maximized, especially in Papua where decentralization is asymmetrical. In this context, the central government is no longer in the position of being the single controller of development and dynamics occurring in the regions.

“Thus, the stigma of the government acting repressively and violating human rights in Papua is baseless.”

On the contrary, local governments through their devices need to be rooted and reach vulnerable spots that need more attention. They need to play an active role in serving the public in areas with difficult terrain. As for maintaining social cohesion, they need to be present as coaches who embrace all elements of society, religion, and customs.

Regarding the sense of ownership of development by the people of Papua, it needs to be recognized that there is a perception of the kind of development which tends to be one-way. There is also criticism that the community feels less involved in the development process. Such sentiment must be noted as a reflection of the lack of correct and equal understanding of the Development Planning Consultation scheme in the community.

In the future, the Papuan development paradigm must lead to co-creation. This means that the development can create a sense of ownership by the people of Papua directly, especially in the youth as the next generation of leadership in Papua.

The government is currently revising Law No. 21 of 2001 regarding Special Autonomy. The revision moment of the law needs to be seen as an opportunity to change the paradigm of managing the Papua problem. The problem of Papua is the test case of our nationality. In addition to seeing by heart, it is necessary to consider Papua with the sight of data.

 

]]>
https://wikipapua.com/2020/07/18/recognizing-papua-by-data-part2-by-jaleswari-pramodhawardani/feed/ 0
“Recognizing Papua by Data (Part#1)” by Jaleswari Pramodhawardani https://wikipapua.com/2020/07/17/recognizing-papua-by-data-part-1-by-jaleswari-pramodhawardani/ https://wikipapua.com/2020/07/17/recognizing-papua-by-data-part-1-by-jaleswari-pramodhawardani/#respond Fri, 17 Jul 2020 19:57:27 +0000 https://wikipapua.com/?p=990 Jaleswari Pramodhawardani | The Fifth Deputy Politic, Law, Defense, Security, and Human Rights Presidential Staff Office

The Papuan development paradigm must be directed to create a sense of belonging by the people of Papua, primarily for the youth as the next generation of leadership in Papua.

Papuan issue had sparked again and become fierce discussions lately. Several webinars (web seminars) spread discussing this easternmost region of Indonesia. The discussion topic focused on two matters, the welfare and the security in Papua. What makes the discussions fierce, of course, is the insertion of racial issues.

The death of George Floyd, an Afro-American citizen who was the victim of police brutality in Minneapolis, became a trigger as if Indonesia is similar to America. The problem of Papua is then compared with racism in America.

We understand that racism is a global reality, something that is opposed by modern civilization. It does not only occur in the West, which reflects colonialism and the slave trade. It also must be admitted that racism with the related history can be found in other regions of the world.

A Sociologist, Richard Schaefer, sees race and ethnicity refers to social constructions related to groups that have long been formed and are bound by culture, origin, tradition, religion, and language. More specifically, Schaefer said that the word race refers more to the construction of the appearance-based difference.

“We understand that racism is a global reality, something that is opposed by modern civilization.”

In essence, this racism is related to domination based on race, based on the thought that one or more racial groups are superior and uses it to justify immoral treatment for other racial groups.

The story of Floyd then inspired the world. Many countries experienced emerging movements that follow #Blacklivesmatter which is already popular in the US. No exception in Indonesia with #Papuanlivesmatter.

Then, is it true that racism in Indonesia has become so systemic, manifested into organized racism? The accusation mainly refers to the series of riots that broke out in Manokwari, Sorong, Fakfak, Timika, Deiyai, Wamena, and Jayapura mid-August 2019 to the end of September 2019 which left us deeply in grief.

In this matter, we absolutely cannot be reckless about the conclusion. Racism is a very strong accusation for the problem of Papua. Racism can be recognized from the patterns of leadership, policies, laws, and regulations, as well as social programs and systems.

For example, systemic racism can occur from education, recruitment methods, or access. What happened in Papua presents the opposite fact. The

 

state and the government are working hard to accelerate welfare development there. Then why is social segregation still happening, what is the root of the problem?

In general, there are two negative stigmas toward the central government. First, the central government does not develop the human in Papua and only focuses on infrastructure. Second, the central government consistently practices oppressive and violates human rights.

The Data Speaks

Nowadays, viewing Papua is certainly different from the beginning of the reform two decades ago. New variables emerge such as the local, national, international, and information technology constellations. The data about the security forces’ actions alone is certainly not enough without seeing the new network of armed separatist groups at home and abroad. The latest data from the Papua Task Force UGM shows that the most violent perpetrators are armed separatist groups.

The issue of human rights also widened from the dimension of civil political rights to economic, social, and cultural rights. Not to mention the issue of governance, both at the central and regional levels, from the provincial, district to village levels. All these elements must be considered so that we are not blurred in viewing Papua. We need accurate data, results of research institutions, and credible campus studies.

]]>
https://wikipapua.com/2020/07/17/recognizing-papua-by-data-part-1-by-jaleswari-pramodhawardani/feed/ 0
“Papua absolutely belongs to Indonesia”, by Ramses https://wikipapua.com/2020/07/16/papua-absolutely-belongs-to-indonesia-by-ramses/ https://wikipapua.com/2020/07/16/papua-absolutely-belongs-to-indonesia-by-ramses/#respond Thu, 16 Jul 2020 08:07:06 +0000 https://wikipapua.com/?p=986 Ramses | Pepera Figure

The decision and stipulation of West Irian as the territory of Indonesia’s national jurisdiction was sponsored by the founding fathers of the nation’s at the BPUPKI (Investigating Committee for Preparatory Work for Independence) meeting on 10 to 11 July 1945.

The thing that became the basis in formulating the state framework at the meeting was the theory of spilled blood and also the theory of geopolitics.

According to the theory of spilled blood, the desires and provisions to form the country’s territorial jurisdiction began at the time of the Majapahit Kingdom which was confirmed by the Gajah Mada Governor through the Palapa Oath.

Meanwhile, according to geopolitical theory, the jurisdiction of Indonesia is the final leap from the archipelago to the Pacific Ocean and from the Pacific Ocean to the Archipelago.

“That the Indonesia must be independent by covering the Malayan and Papua regions, that is all” -Soekarno

Papua part of Indonesia has been stated in the formulation of the BPUPKI session regarding Indonesian sovereignty, which includes Malacca, Borneo, Papua, Timor and the surrounding Islands. This decision was also based on the principle of possidetis juris, which stipulated that the boundaries of a former colony were based on the territorial borders controlled by the colonial government before the colony was independent.

And the proudest are the two native Papuan namely, Silas Papare and AB Karubui, who participated actively in the framework of observing the manuscript of the 1945 Constitution as a constitutional foundation for the basis of the formation of the Unitary Republic of Indonesia.

The unification of Papua into Indonesia’s sovereignty continues to reap the pros and cons of many parties who disagree and want Papua to be separated from the Unitary Republic of Indonesia. Until then as a final step in accordance with the New York agreement on July 14 to August 4, 1969 the Indonesian government held a public opinion determination or PEPERA in 8 West Irian Regencies namely Merauke, Fak Fak, Sorong, Manokwari, Teluk Cenderawasih, Paniai, Jayawijaya and Jayapura.

The implementation of PEPERA aims to determine the validity of the West Irian law status through popular elections based on democratic principles in accordance with the New York agreement, whether to stay with Indonesia or stand alone.

“Election results found that the majority of Papuans chose to join Indonesia”

The joining of Papua to Indonesia was reported to the United Nations and through the results of the session it was decided that the resolution resolution No. 2504 dated 19 November 1969 which confirmed the PEPERA results and determined and recognized that the Papua region was an integral part of the Unitary Republic of Indonesia.

The successful implementation of PEPERA is the result of a unified effort of all Papuans as part of the Indonesian family that stretches from Sabang to Merauke based on Pancasila and the 1945 Constitution.

Papua as an integral part of the Unitary Republic of Indonesia is final, absolute and has permanent legal force in accordance with aspects of national law and aspects of international law.

Therefore, based on historical facts and realities, Papua is actually a fellow brother who is an inseparable unity in the life of the nation and state in the Republic of Indonesia that we love together.

]]>
https://wikipapua.com/2020/07/16/papua-absolutely-belongs-to-indonesia-by-ramses/feed/ 0
“Veronica Koman, LPDP scholarship recipient who supports Papua’s independence” by Florida Natasegay https://wikipapua.com/2020/07/12/veronica-koman-lpdp-scholarship-recipient-sho-supports-papuas-independence-by-florida-natasegay/ https://wikipapua.com/2020/07/12/veronica-koman-lpdp-scholarship-recipient-sho-supports-papuas-independence-by-florida-natasegay/#respond Sun, 12 Jul 2020 23:19:51 +0000 https://wikipapua.com/?p=981 Florida Natasegay | Papuan students who are currently taking their Masters in the United States

There are not many Indonesian citizens (WNI) who get scholarships abroad from the Indonesian government. Getting the opportunity to use some fabulous facilities in expectation of being able to devote themselves to the Republic of Indonesia.

Many things must be prepared to get the scholarship, not only the academic ability but also the managing ability to complete study properly. However, the most important thing is carrying out obligations as somebody who have been supported by the state to develop their motherland. Then, as individuals who were born in Indonesia and willing to be Indonesian, it’s clear that they should love Indonesia and decide to fight for Indonesia.

By the way, one of these fortunate people is Veronica Koman, who regrettably has become a person on Wanted List (DPO) because of supporting the separation of Papua from Indonesia. Veronica prefers to be an enemy rather than a hero to Indonesia. I don’t understand what she fought for in Australia until now.

“Veronica has chosen the path to become an enemy rather than the country’s hero”

Not only being an enemy of the state, but Veronica also devastated her country so that disintegration would occur.

Since graduating from Pelita Harapan University, Veronica has actively supported minority groups. Starting from the jinayat law case in Aceh, the religion blasphemy of Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), until supporting the Armed Separatist Criminal Group Papua to separate Papua from Indonesia.

Moreover, the East Java Regional Police has filed a red notice request to the Interpol headquarters in Lyon-France to seek and temporarily detain Veronica Koman. This request follows the determination of the DPO (People in Search List or Wanted) status of Veronica.

Even worse, after being declared as a Wanted, Veronica keeps playing with fires by underestimating the Government’s handling of Papua.

“Running away from problems by hiding in another country is not a worth emulating manner”

The motive is always similar, revealing the truth with the police, but never ready to face the risk of revealing the truth. Then she is a Wanted now, what can we trust from Veronica?

Like a peanut who forget its shell, that’s Veronica is currently being. Deciding to hide in a foreign country, then calling non-Papuan people to distract the nation’s security just to take “a spoon of rice” and look for sensations. As a citizen who has etiquette, Veronica should have a responsibility by contributing to Indonesia. Dare to solve the legal case that she has begun as a noble deed. If she keeps hiding until now, is it appropriate for us to trust Veronica’s arguments?

]]>
https://wikipapua.com/2020/07/12/veronica-koman-lpdp-scholarship-recipient-sho-supports-papuas-independence-by-florida-natasegay/feed/ 0
Menelusuri Sejarah Deklarasi Kemerdekaan Papua Barat 1 Juli 1971 https://wikipapua.com/2020/07/11/deklarasi-kemerdekaan-papua-barat-1-juli-1971-adalah-kebohongan-historis-ini-alasannya/ https://wikipapua.com/2020/07/11/deklarasi-kemerdekaan-papua-barat-1-juli-1971-adalah-kebohongan-historis-ini-alasannya/#respond Sat, 11 Jul 2020 21:12:10 +0000 https://wikipapua.com/?p=975 Benny Lapago | Den Haag, 11 Juli 2020

Saya sudah lama menelusuri bukti publikasi terkait peristiwa pembacaan Proklamasi Kemerdekaan Papua Barat oleh Seth Rumkorem-Prai pada 1 Juli 1971. Dan hasilnya nihil. Tidak ada satu pun data atau informasi otentik yang benar-benar bisa dijadikan acuan untuk menggambarkan dan menganalisa situasi faktual terkait perjuangan Papua Merdeka pada sekitar tahun 1970, 1971 hingga 1973.

Sampai akhirnya saya menemukan artikel yang menguraikan secara kronologis terkait peristiwa 1 Juli 1971 tersebut, dan artikel itu menyimpulkan secara tegas bahwa sebenarnya tidak ada catatan sejarah yang membuktikan Seth Rumkorem – Prai pernah mengumumkan Kemerdekaan Papua pada 1 Juli 1971.

Anehnya, sebagian besar aktivis dan simpatisan Papua Merdeka mempercayai bahwa peringatan Kemerdekaan Papua setiap tanggal 1 Juli merujuk ke peristiwa yang disebutkan bahwa Seth Rumkorem bersama Jacob Hendrik Prai mendeklarasikan Kemerdekaan Papua di Markas Victoria pada 1 Juli 1971.

Kronologi Rumkorem dan Deklarasi Kemerdekaan 1 Juli 1971

Pada tahun 1970, Seth Rumkorem yang waktu itu adalah anggota TNI Angkatan Darat berpangkat Kapten, melakukan perjalanan ke Wamena untuk melaksanakan tugas penyelidikan dan pemeriksaan kas keuangan negara. Dalam perjalanan itu, dengan berbagai alasan subjektif, Rumkorem akhirnya memutuskan membelot, keluar dari TNI AD dan bergabung dengan pemuda-pemuda yang memperjuangkan kemerdekaan Papua, yang ketika itu bermarkas di wilayah Scohtiau (kini bernama Skouw). Rumkorem tiba di Skouw pada 17 Juli 1970.

Catatan: terkait Markas Victoria di Scohtiau (Skouw), berdasarkan hasil bincang-bincang dengan sejumlah aktivis Papua di Belanda, jangan dibayangkan seperti sebuah pusat komando dalam arti yang sesungguhnya. Markas Victoria itu terletak di wilayah yang saat ini disebut Scohtiau (Skouw), di bagian utara perbatasan antara Indonesia-PNG. Ketika itu ada tiga kampung di wilayah Skouw.

Selanjutnya, Rumkorem tiba di wilayah yang ketika itu disebut Scohtiau (Skouw), yang terletak dalam wilayah Indonesia. Rumkorem diantar oleh seorang kurir laut, lelaki Papua asal Teluk Saireri. Perjalanan ini ditempuh dengan naik perahu. Sebab saat itu, belum ada jalan darat yang menghubungkan antara Jayapura (Hollandia) dengan Skouw. Saat ini, jalan akses darat Jayapura-Skouw berjarak sekitar 60 km, dapat ditempuh sekitar 60 s.d 90 menit.

Selanjutnya, selama berada di Skouw, antara 17 Juli 1970 hingga 28 Juni 1971, Rumkorem dan Prai berhasil membangun dan memperkenalkan Markas Victoria sebagai pusat perencanaan dan pengaturan strategi perjuangan Papua Merdeka di bidang politik dan militer.

Dengan latar belakang militernya, Rumkorem berhasil melatih beberapa pemuda Papua untuk menjadi opsir-opsir Tentara Papua, di antaranya Simon Imbiri, Habel Atanay, Jereth Wayoi, John Upuya, Aquila Major, Sepi Wayoi, Philemon Yarisetouw, Yosephat Wayoi, Marthen Tabu, Jance Demetouw

Pada periode yang sama, Nicholas Jouwe, Ketua National Liberation Council (NLC) tiba kembali di Belanda setelah beberapa bulan berada di New York, Amerika Serikat, untuk menggugat hasil PEPERA 1969, yang dinilai tidak memenuhi hukum internasional tentang hak-hak politik Bangsa Papua. Setibanya di Belanda, Nicholas Jouwe menemukan surat yang dikirim oleh Rumkorem-Prai dari Markas Victoria, yang berisi dua hal: (1) Menanyakan kepada Jouwe sebagai Ketua NLC apakah ada kemungkinan penggugatan terhadap hasil PEPERA di PBB; (2) Menawarkan Nocolas Jouwe untuk menjadi Kepala Negara Papua Barat.

Terhadap surat Rumkorem tersebut, Nicolas Jouwe menjawab dengan tegas (disampaikan 21 tahun kemudian, pada perayaan 30 tahun hari Bendera Bintang Kejora, 1 Desember 1991 di Belanda):  “Kedua Adik Rumkorem dan Prai. Tidak ada kemungkinan untuk kita menggugat; satu-satunya jalan adalah Proklamasi Kemerdekaan Papua Barat secara sepihak. Adik berdua masih muda. Pimpin perjuangan ini. Adik Rumkorem, kau, kakak usulkan sebagai presiden; dan adik Prai kau sebagai Ketua Senat,” begitu jawaban Nicolas Jouwe terhadap surat yang diterimanya dari Markas Victoria.

Berdasarkan jawaban dari Nicholas Jouwe itulah, Rumkorem-Prai akhirnya merencanakan deklarasi Kemerdekaan Papua, di Holamba, Waris. Bukan di Markas Victoria (catatan: tidak ada keterangan kenapa deklarasi kemerdekaan itu diagendakan sejak awal di Holamba, bukan di Markas Victoria).

Dalam sebuah rapat yang diselenggarakan di Markas Victoria pada 25 Juni 1970, perserta rapat menyetujui proposal yang diajukan oleh Joweni dan Luis Nussy terkait tiga hal: pertama, Rumkorem dan Prai ditunjuk sebagai deklarator; kedua, tangga 1 Juli ditetapkan sebagai tanggal pembacaan Proklamasi Kemerdekaan Papua Barat; dan ketiga, lokasi deklarasi kemerdekaan Papua Barat adalah di Holamba, Waris. Bukan di Markas Victoria, Scohtiau (Skouw).

Berdasarkan hasil keputusan rapat tanggal 25 Juni 1970 itu, Rumkorem-Prai kemudian mengerahkan pasukannya, yang dipimpin oleh Simon Imbiri, untuk menguasai Halomba, di kecamatan Waris, yang akan dijadikan lokasi deklarasi kemerdekaan Papua Barat pada 1 Juli 1971 di pagi hari.

Namun rencana penguasaan Holamba-Wasir meleset. Terjadi kontak senjata antara Pasukan Papua Merdeka yang dipimpin oleh Opsir Simon Imbiri dengan Satuan Tentara Indonesia di Pos Waris. Akibatnya pasukan Papua Merdeka terpaksa mengundurkan diri, karena kekuatan personil dan peralatan perang yang tidak berimbang. Tercatat dua pemuda Papua Merdeka yang celaka dalam kontak senjata itu, yaitu John Upuya dan Josephat Wayoi. Keduanya berhasil dievakuasi ke Imonda di wilayah Papua New Guinea, kemudian dijemput oleh seorang Patrol Officer (Bestuur) dari Pemerintahan Administasi Australia , Mr. Bob Lock.

Akibat lanjutannya, rencana upacara dan pembacaan deklarasi kemerdekaan Papua Barat pada 1 Juli 1971 di Holamba, Waris oleh Rumkorem-Prai batal dilaksanakan. Dan pasukan Papua Merdeka kembali ke Markas Victoria, di Scohtiau (Skouw).

Dalam perkembangannya, upacara pembacaan deklarasi kemerdekaan Papua Barat 1 Juli 1971 itu baru dapat dilaksanakan secara resmi sekitar dua tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 12 Februari 1973, di Markas Victoria, Scothiau. Artinya, deklarasi itu bertanggal 1 Juli 1971, namun baru dibacakan pada 12 Februari 1973.

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

Pertama, tidak ada pembacaan/deklarasi Kemerdekaan Papua Barat pada 1 Juli 1971. Artinya, tidak pernah ada upacara deklarasi Kemerdekaan Papua Barat pada tanggal tersebut.

Kedua, naskah teks proklamasi yang beredar di kalangan aktivis Papua Merdeka, memang benar bertanggal 1 Juli 1971. Namun naskah itu baru dibacakan pada tanggal 12 Februari 1973. Hal ini juga menjadi aneh, sebab mestinya naskah itu diberi tanggal 12 Februari 1971. Artinya, ada semacam upaya menipu rakyat Papua, namun tidak/belum ada keterangan yang menjelaskan kenapa deklarsai tetap dibubuhi tanggal 1 Juli 1971, padahal justru dibacakan pada 12 Februari 1973.

Ketiga, tidak pernah ada penjelasan kenapa pembacaan deklarasi ditunda atau tertunda sampai sekitar dua tahun kemudian (mestinya 1 Juli 1971, tapi realisasinya pada 12 Februari 1973). Dan seperti diketahui, mungkin akan sulit mendapatkan keterangan pasti mengenai penyebab penundaan tersebut. Sebab Seth Rumkorem sudah wafat 12 Oktober 2010 di Belanda.

Keempat, Rumkorem-Prai tampak berupaya menipu rakyat Papua, dengan mempublikasikan bahwa deklarasi kemerdekaan itu diumumkan pada 1 Juli 1971, padahal realisasi pengumumannya terjadi pada 12 Februari 1973. Tetapi alasan dan tujuannya tidak pernah diketahui, sehingga terkesan sengaja disembunyikan.

——————

Catatan: artikel ini ditulis dengan mengacu pada artikel yang berjudul “Brigjen Seth J. Rumkorem Membelot dari TNI AD dan Proklamirkan Papua Barat”, yang ditulis Constantinopel Ruhukail (tampaknya sebagai nama samaran), dan dimuat di website Suara Papua, 1 Juli 2020. Constantinopel Ruhukail menulis artikelnya antara lain dengan mewawancarai Mr. Rudi Raka, Staf Intelijen Kepresidenan Pemerintahan Rumkorem-Prai 1973. Constantinopel Ruhukail adalah redaktur majalah “FAJAR MERDEKA” dan “PRO-PATRIA” yang diterbitkan Kementerian Penerangan Pemerintahan Revolusi Sementara Republik Papua Barat (PRS-PB), di Markas Victoria – Nagasawa, Ormu Kecil, pada tahun 1982.

]]>
https://wikipapua.com/2020/07/11/deklarasi-kemerdekaan-papua-barat-1-juli-1971-adalah-kebohongan-historis-ini-alasannya/feed/ 0