Home Politics Jika Papua Ingin Merdeka, Ini Tahapannya

Jika Papua Ingin Merdeka, Ini Tahapannya

3683
0
Facebook
Twitter
Google+
Pinterest

Oleh Benny Lapago | Den Haag, 26 Juli 2020

Pertanyaan kunci: apakah ada peluang Papua menjadi negara merdeka? Tergantung.

Artikel ini akan coba mengulasnya seobyektif mungkin, dengan mengurai tahapan-tahapan yang mesti dilewati jika Papua ingin merdeka, sambil melihat dan menganalisis kemungkinannya serta tantangan dan peluang pada setiap tahapan.

Sebelum membahas soal tahapan itu, ada beberapa fakta tentang Papua saat ini, baik di pihak Indonesia ataupun di pihak pro merdeka, yang perlu dicermati dan sebenarnya menjadi acuan dalam merumuskan tahapan-tahapan menuju Papua Merdeka.

Pertama, ada resolusi SU PBB (UNGA) Nomor 2504 tahun 1969, yang mengakui hasil PEPERA (Penetuan Pendapat Rakyat) atau Act of Free Choice, 1969, yang mengakui bahwa Papua adalah bagian dari Indonesia; di pihak lain, semua kelompok pro Merdeka menilai resolusi UNGA 2504 dan Act of Free Choice itu tidak sah dan karena itu mereka menuntut kemerdekaan dan referendum ulang.

Kedua, secara de facto, wilayah Papua saat ini berada dalam kedaulatan Indonesia; di sisi lain, berbagai faksi pro Merdeka sedang melakukan perlawanan termasuk perang gerilya di berbagai titik di Papua dengan asumsi argumen bahwa Indonesia adalah penjajah di Papua.

Ketiga, pihak Indonesia dari waktu ke waktu melakukan tindakan penegakan hukum terhadap kelompok bersenjata pro merdeka sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia; di sisi lain, hampir semua faksi pro merdeka menilai penegakan hukum itu sebagai tindakan yang melanggar HAM (Hak Asasi Manusia).

Keempat, Indonesia saat ini dan masih terus membangun Papua melalui berbagai proyek insfrastruktur di bidang ekonomi dan sosial Papua; di sisi lain semua faksi pro merdeka mengklaim tidak memerlukan pembangunan itu.

Pertarungan antara pro merdeka vs pro Indonesia terkait empat fakta di atas masih dan akan terus berlangsung. Dan jika Papua ingin menjadi negara merdeka, setidaknya ada tujuh tahapan yang harus dilewati, sebagai berikut:

Tahap-1: Demonstrasi dan Propaganda di Medsos

Jika membuka berbagai platform Medsos (terutama Twitter, Facebook, Instagram), dan mengklik hastag #papua atau #westpapua, kita akan langsung berhadapan degan segudang postingan, yang mengadvokasi dan menuntut Papua merdeka dan/atau referendum. Narasinya hampir semuanya mengirim pesan: seolah-olah Papua akan segera merdeka besok pagi atau paling telat pekan depan.

Harus diakui, propaganda di Medsos tentu akan membentuk opini. Cuma opini yang terbentuk ini sebenarnya juga tidak bisa diukur secara pasti.

Dan jangan salah! Propaganda pro merdeka itu tentu akan diimbangi atau dikonter oleh kelompok pro-Indonesia. Dan pertarungan propaganda di Medsos antara pro Indonesia vs Pro merdeka itulah, yang sudah-sedang-dan-akan terus berlangsung. Dan perlu dicatat juga, tahapan propaganda dan kontra propaganda ini bisa berlangsung bertahun-tahun, sebelum masuk ke tahap-2.

Sejauh ini, saya tidak memiliki alasan obyektif untuk mengatakan, misalnya, ribut-ribut atau hura-hura di Medsos itu akan menjadi pertimbangan oleh berbagai negara di dunia untuk mendukung Papua Merdeka.

Ada satu pemandangan ganjil dalam setiap aksi dan postingan milik pro Papua Merdeka, yang sering dijadikan materi propaganda di Medsos: mereka mengangkat spanduk atau meme bertuliskan “Referendum” dan “Kami Ingin referendum”. Anehnya, tuntutan tersebut ditujukan kepada Pemerintah Indonesia. Dan ini salah alamat.

Sebab Pemerintah Indonesia tidak memiliki posisi legal untuk memberikan atau mengizinkan pelaksanaan referendum di Papua. Mestinya, tuntutan referendum itu ditujukan kepada PBB. Sebab yang melaksanakan Act of Free Choice tahun1969 adalah PBB zq UNTEA (United Nations Temporary Authority), dan yang mengesahkannya adalah SU PBB. Selain itu, menuntut referendum untuk Papua akan dianggap sebagai pembangkangan terhadap Resolusi SU PBB.

Dengan kata lain, seandainya pun Pemerintah Indonesia secara sepihak ingin melaksanakan referendum untuk Papua, juga tidak mungkin dilakukan. Sebab jika Indonesia melaksanakan referendum, berarti Indonesia akan dianggap menentang Resolusi SU PBB (UNGA) Nomor 2504 tahun 1969.

Ribut-ribut dan berteriak-teriak di Medsos yang dilakukan oleh kelompok pro merdeka adalah bagian dari upaya melepaskan unek-unek dan bernostalgia dengan masa lalu. Termasuk yang dilakukan misalnya oleh beberapa influencer sekalas Veronica Koman.

Dan harus diterima bahwa selama periode tahap-1 ini, aksi demonstrasi menuntut kemerdekaan Papua, diskusi offline dan online tentang Papua, pengibaran bendera Bintang Kejora dari waktu ke waktu dan di beberapa negara, tentu saja akan terus berlangsung.

Karena itu, jika ditanya, apakah ada pengaruh langsung propaganda pro Papua merdeka di Medsos itu terhadap kemungkinan Papua merdeka? Untuk sementara jawabannya tegas: tidak ada.

Tahap-2: dukungan massif dari tokoh dan LSM global

Setelah melewai tahap-1 (propaganda di Medsos) yang bisa bertahun-tahun, mungkin saja akan muncul segelintir tokoh nasional di Indonesia, atau public figur internasional yang mendukung perjuangan Papua Merdeka. Dan ini wajar saja.

Namun untuk bisa efektif, dukungan tokoh dan publik figur nasional dan internasional ini, harus bersifat massif, menyebar seluas mungkin, dan persebarannya paling tidak mewakili berbagai wilayah regional dalam peta bumi. Sebab dukungan segelintir tokoh, dipastikan tidak akan mampu menggalang dukungan publik untuk isu Papua Merdeka.

Sejauh ini, memang ada satu dua orang tokoh nasional dan/atau regional yang mendukung Papua Merdeka. Namun saya tidak melihat adanya kecenderungan yang bersifat masif dari tokoh-tokoh publik nasional dan internasional yang mau mendukung Papua Merdeka.

Yang menarik dan poin ini sering dijadikan materi propaganda oleh aktivis pro Papua Merdeka adalah dukungan atau lebih tepatnya advokasi tentang HAM (Hak Asasi Manusia) di Papua oleh organisasi dan pegiat HAM, yang kalau dicermati, sebenarnya juga lebih fokus mendukung dan menuntut penuntasan kasus HAM di Papua.

Namun, advokasi tentang HAM di Papua itu, yang disuarakan oleh berbagai organisasi dan pegiat HAM, baik nasional ataupun internasional, tidak lantas berbanding lurus dengan dukungan untuk Papua Merdeka. Ini dua kasus (HAM dan Merdeka) yang berbeda. Artinya, mendukung penegakan HAM di Papua tidak dapat langsung diartikan sebagai dukungan terhadap Papua Merdeka.

Bahkan pembahasan isu HAM Papua di forum Dewan HAM PBB, juga tidak secara otomatis berbanding lurus dengan kemungkinan PBB mendukung Papua Merdeka. Rekomendasi Dewan HAM paling hanya dijadikan salah satu pertimbangan jika nantinya ada pembahasan isu Papua di forum Sidang Umum dan/atau Dewan Keamanan PBB.

Kesimpulannya, di tahap-2 ini, kelompok pro merdeka belum dapat dianggap sukses. Masih jauh dari sukses. Dan potensi suksesnya relatif sangat kecil.

Tahap-3: dukungan lembaga-lembaga keagamaan internasional

Meskipun ada kemiripan, namun saya membedakan antara LSM (NGO/Non Governmental Organization) dan lembaga-lembaga keagamaan, baik yang berbasis nasional, regional ataupun internasional.

Memang, salah satu tahapan yang paling krusial terkait isu Papua adalah jika muncul dukungan dari lembaga keagamaan global yang memiliki reputasi internasional. Sebab dukungan lembaga keagamaan itu akan menjadi semacam banchmark atau acuan bagi negara-negara lain, atau organisasi dan tokoh-tokoh internasional untuk bersikap lebih lanjut terhadap isu Papua.

Sebagai contoh, jika tiba-tiba Takhta Suci Vatikan misalnya mengeluarkan pernyataan mendukung pelaksanaan referendum untuk Papua dan/atau kemerdekaan Papua, pengaruhnya akan sangat signifikan.

Tapi, berdasarkan pengalaman dalam kasus-kasus lain selama ini, kemungkinan Takhta Suci Vatikan mendukung referendum di Papua masih sangat kecil. Sikap Vatikan biasanya juga mengacu pada konstelasi politik global.

Terkait dukunga lembaga keagamaan ini, perlu dicatat bahwa beberapa lembaga keagamaan di Papua cenderung bahkan telah mendukung pihak pro-merdeka. Hanya pernyataan dukungannya dirumuskan dengan redaksional yang melingkar dan saya yakin hanya mewakili kelompok kecil dalam lembaga lembaga keagamaan itu, bukan mewakili lembaga keagamaan resmi. Atau boleh jadi karena didesak atau diteror oleh kelompok separatis. Dan substansi pernyataannya pun tidak secara terus terang mendukung papua Merdeka, tetapi mengalihkannya ke isu lain. Pernyataan lembaga keagamaan terbaru terkait Papua adalah press release Dewan Gereja Papua (WPCC) yang berjudul “Otsus Pembangunan Indonesia Untuk Kesejahteraan Rakyat Papua Sudah Mati” (Senin, 6 Juli 2020).

Pada Tahap-3 ini, gerakan pro Papua Merdeka juga masih jauh dari sukses.

Tahap-4: mengantongi dukungan banyak negara

Sering terdengar beberapa tokoh Papua Merdeka di dalam ataupun di luar negeri, yang berkoar-koar di Media sosial bahwa telah mendapatkan dukungan dari banyak negara. Namun ini lebih sebagai propaganda saja.

Sebagai gambaran, sikap negara-negara di dunia saat ini terhadap isu Papua dapat diklasifikasi dalam empat kategori, sebagai berikut:

Pertama, negara yang terang-terangan mendukung Papua Merdeka, seperti Vanuatu, dan dalam kadar yang berbeda-beda, sejumlah negara Pasifik Selatan dan Afrika.

Kedua, negara-negara yang bersimpati atau mungkin bersimpati pada isu Papua Merdeka, dalam arti tidak terang-terangan mendukung isu Papua Merdeka, namun mendukung misalnya soal penyelidikan dan penegakan HAM di Papua atau hak-hak indigenous people (warga asli) Papua.

Ketiga, ada beberapa negara yang tidak/belum memberikan pernyataan apapun tentang Papua merdeka, namun berdasarkan pengalaman dalam kasus Timor Timur, negara-negara ini diasumsikan mungkin akan mendukung Papua Merdeka pada saat-saat yang kritis.

Keempat, negara-negara yang dipastikan akan menolak Papua Merdeka, seperti negara-negara anggota ASEAN, sebagian besar negara anggota Non-Blok, negara-negara anggota Uni Eropa, mayoritas negara Amerika Latin, dan hampir semua negara-negara Timur Tengah dan Asia Selatan.

Karena itu, dukungan 79 negara anggota Africa-Pasific Carribean (APC), yang dikeluarkan dalam KTT APC di Kenya Nairobi pada Desember 2019, dapat diklasifikasi dalam kategori kedua (negara-negara yang bersimpati pada isu Papua Merdeka). Sebab resolusi KTT APC tidak secara jelas mendukung Papua Merdeka. Berikut adalah resolusi ACP tentang Papua pada Desember 2019:

  1. Conduct a mission to West Papua and provide an evidence-based, informed report on the human rights situation before the next meeting of the Pacific Islands Forum Leaders in July 2020 (Membentuk tim untuk mencari fakta dan laporan yang berbasis informasi terkait kondisi HAM di Papua, sebelum pelaksanaan pertemuan pemimpin Pacific Islands Forum pada Juli 2020);
  2. Allow international media access to West Papua to provide independent coverage on the human rights situation ahead of the next meeting of the Pacific Islands Forum Leaders in July 2020 (membuka akses bagi media-media internasional ke Papua Barat untuk membuat liplutan kondisi HAM menjelang pelaksanaan pertemuan pemimpin Pacific Islands Forum pada Juli 2020);
  3. Work together to address the root causes of the conflict in West Papua by peaceful means, and protect and uphold the human rights of all residents in West Papua; and (Bekerjasama untuk mengidentifikasi akar persoalan dan konflik di Papua Barat dengan mengacu pada prinsip perdamaian, dan melindungi HAM bagi semua warga Papua, dan)
  4. Seek to include the human rights situation in West Papua as a standing item on the agenda of the United Nations Human Rights Council (berupaya untuk memasukkan kondisi HAM di Papua sebagai salah satu agenda Dewan HAM PBB).

Kalau dicermati, sekali lagi, tidak satupun dari empat butir resolusi itu yang terang-terangan mendukung Papua Merdeka. Meskipun rumusan kalimat itu bisa juga dipahami sebagai rumusan redaksional yang bersifat diplomatik. Artinya, dukungan dan advokasi APC utnuk penyelidikan HAM di Papua sebenarnya hanya kedok, karena boleh jadi sebagian besar anggota ACP memang mendukung Papua Merdeka.

Perlu dicatat di sini, organisasi-organisasi yang berbasis regional, apalagi jika posisi geografisnya saling berjauhan seperti APC (satu di Pasifik, yang di lain di Afrika dan satunya lagi di kawasan Karibia), umumnya tidak memiliki efektivitas dalam percaturan politik global. Tidak aneh, resolusi KTT ACP itu tidak diliput oleh media-media mainstream global, dan hanya dipublikasikan oleh media-media kecil, dan tentu saja dipublikasikan secara masif melalui berbagai platform media sosial. Sejumlah tokoh dan organisasi Papua Merdeka terus menjadikan resolusi ACP itu sebagai materi untuk mengklaim kesuksesan mendapatkan dukungan dari berbagai negara untuk Papua merdeka.

Dan sekali lagi, di sisi lain, di kalangan organisasi-organisasi regional lain seperti non-Blok, Organisasi Kerjasama Islam (OKI), ASEAN, bahkan Uni Eropa, tidak satupun yang mendukung Papua Merdeka. Bahkan di lingkungan Non-Blok, sebenarnya ada klausul dalam angaran dasarnya, yang menyebutkan bahwa setiap negara anggota Non-Blok tidak boleh mendukung gerakan separatis yang terjadi di salah satu negara anggota Non-Blok.

Karena itu, lagi-lagi, kelompok pro Papua Merdeka masih jauh dari sukses di tahap-4 ini

Tahap-5: Memasukkan Isu Papua dalam Agenda PBB

Jika diasumsikan nantinya banyak negara di dunia yang mendukung Papua merdeka, itu saja belum cukup. Sebab negara-negara pendukung Papua Merdeka itu harus secara riil memperjuangkannya di forum PBB. Artinya negara-negara pendukung itu harus lebih dulu sukses memasukkan isu Papua dalam agenda PBB.

Dan di PBB, terdapat dua forum politik yang bisa digunakan untuk mengolah isu-isu internasional: yaitu forum Sidang Umum (SU) atau UNGA (United Nations General Assembly) yang diselenggarakan setiap tahun pada bulan September; dan forum Dewan Keamanan (DK) yang beranggota 5 anggota tetap dan 10 anggota bergirlir tidak tetap.

Namun untuk memasukkan isu Papua sebagai agenda SU danb DK PBB , minimal diperlukan dukungan awal sebanyak 2/3 anggota PBB (artinya perlu dukungan sekitar 128 negara dari total anggota PBB saat ini yang berjumlah 193 negara). Dan jujur saja, mendapatkan dukungan awal dari 128 negara itu bukan persoalan enteng. Poin ini yang tidak dipahami oleh hampir semua warga Papua dan organisasi-organisasi Papua yang pro merdeka.

Secara faktual dan obyektif, berdasarkan konstelasi politik dan ekonomi global saat ini, Indonesia memiliki posisi tawar yang sangat kuat untuk melobi dan menjamin dukungan terhadap posisi Indonesia terkait isu Papua. Dan tentu saja, Indonesia akan menggunakan semua kapasitas dan sumber dayanya agar isu Papua tidak dimasukkan dalam agenda SU PBB.

Kesimpulannya, pada tahap-5 ini (memasukkan isu Papua dalam agenda PBB), gerakan pro Papua Merdeka masih sangat jauh dari sukses. Tanda-tandanya pun tidak ada.

Tahap-6: pertarungan di forum PBB

Jika diasumsikan bahwa isu Papua disetujui dimasukkan dalam agenda SU PBB, pertarungan lanjutannya adalah pembahasan di komite-komite PBB dan inipun bisa berlangsung bertahun-tahun. Lobi-lobi untuk jegal-menjegal pasti akan dilakukan oleh kelompok negara yang pro Papua merdeka vs negara-negara yang pro Indonesia.

Dan berdasarkan pengamatan saya, hingga saat ini, tidak ada satu pun pengamat politik berkelas dunia yang mengatakan, bahwa posisi Indonesia melemah dalam pertarungan politik di dua forum PBB tersebut.

Karena itulah, jika ada beberapa tokoh gerakan separtis Papua (seperti Benny Wenda, Herman Wanggai, Oridek Ap) yang hadir dalam SU PBB di New York, dengan cara mendompleng ke delegasi Vanuatu, sama sekali tidak/belum memiliki pengaruh signifikan ke arah kemungkinan perubahan Resolusi UNGA PBB nomor 2504.

Sebab kehadiran mereka di SU PBB itu memangkas atau meloncati lima tahapan sebelumnya, yang mestinya dilewati secara normal dan penuh. Dengan kata lain, kehadiran mereka di lingkungan SU PBB dapat bertujuan untuk dijadikan materi propaganda guna memberikan kesan kepada simpatisan dan pendukungnya bahwa mereka yang hadir itu serius dalam meperjuangkan Papua merdeka.

Saya tidak yakin bahwa dalam proses kasak-kusuk di lorong-lorong gedung PBB, saat ini dan sekian tahun ke depan, pihak pro merdeka akan mendapatkan dukungan signifikan dari anggota PBB, apalagi jika isu Papua Merdeka itu hanya disuarakan oleh negara sekelas Vanuatu.

Tahap-7: Menganulir Resolusi UNGA PBB nomor 2504

Jika diasumsikan bahwa pro merdeka sukses melewati enam tahapan sebelumnya, maka pertarungan lanjutannya adalah pembahasan mekansime untuk menganulir Resolusi SU PBB tentang papua (UNGA Resolution 2504/XXIV, 19 November 1969), yang sekali lagi, telah mengakui dan melegalkan bahwa Papua adalah bagian dari Indonesia.

Dengan kata lain, seperti disebutkan sebelumnya, menuntut referendum ulang di Papua dapat dikategorikan sikap yang menentang Resolusi UNGA Resolution 2504, yang artinya juga menentang negara-negara yang memutuskan Resolusi 2504 tersebut pada 1969.

Padahal, agar Papua dapat merdeka, PBB harus lebih dulu menganulir resolusinya sendiri (UNGA Resolution 2504/XXIV, 19 November 1969), yang secara sah telah mengaku hasil Act of Free Choice (PEPERA) yang diselenggarakan pada periode Juli-Agustus 1969, yang hasilnya menegaskan secara final bahwa Papua adalah bagian dari Indonesia.

Terkait dengan mekanisme menganulir Resolusi SU PBB (UNGA), saya tidak/belum pernah membaca kasus di mana SU PBB menganulir keputusannya sendiri, khususnya jika resolusi itu berkaitan dengan gerakan separatis dan kedaulatan sebuah negara anggota PBB.

Selain itu, dan poin ini jarang dibahas bahkan oleh kelompok pro merdeka, bahwa dalam proses perumusan amandemen resolusi baru/pengganti SU PBB ini, hasil finalnya juga bisa menjadi bumerang bagi pendukung Papua Merdeka. Sebab boleh jadi, resolusi baru/pengganti itu justru semakin memperkuat resolusi lama, yang berarti semakin menegaskan bahwa Papua adalah bagian dari Indonesia.

Menurut saya, jika pun dilakukan voting, maka komposisi dan persentase suara anggota PBB terkait masalah Papua mungkin tidak akan jauh berbeda ketika resolusi Resolution 2504/XXIV disahkan pada 19 November 1969, yakni 84 negara setuju (mendukung posisi Indonesia); 30 Negara abstain/blanko (yang berarti cenderung pro Papua); dan 12 negara tidak hadir (belum jelas sikapnya).

Nyaris mustahil

Mengacu pada uraian ketujuh tahapan di atas, saya cukup percaya diri untuk mengambil beberapa kesimpulan berikut:

Pertama, perjuangan Papua Merdeka, hingga saat ini (Juli 2020), sebenarnya masih berkutat di tahap-1 yang masih terus berlangsung. Pro merdeka juga dapat menembus beberapa titik di tahap-2, tahap-3, dan tahap-4, tapi tidak signifikan untuk mengantarkan Papua menjadi negara merdeka. Untuk melewati tujuh tahapan itu secara penuh tentu bukan persoalan enteng, dan pasti bukan overnight solution. Artinya, perjuangan Papua Merdeka tidak mungkin berproses dalam tempo dua atau tiga tahunan.

Kedua, dari tujuh tahapan itu, gerakan Papua Merdeka paling kuat bisa dan relatif sukses mencapai tahapan-4 (mengantongi dukungan banyak negara). Tetapi akan sangat sulit memasuki tahap-5, dan semakin sulit menembus tahap-6 apalagi tahap-7. Berdasarkan anasilis data dan konstelasi politik global saat ini, saya sangat yakin bahwa Papua Merdeka nyaris mustahil terjadi.

Ketiga, jikapun diasumsikan ketujuh tahapan di atas dapat dilewati, prosesnya dipastikan akan berlangsung bertahun-tahun: bisa mencapai 30 atau 50 tahun lagi ke depan bahkan lebih. Selama periode yang lama itu, ada dua kemungkinan: posisi Indonesia di Papua akan semakin menguat, dan/atau sebaliknya, posisi pro Papua Merdeka juga semakin menguat. Namun hampir pasti, karena periode waktunya cukup lama sementara hasil nyaris tidak ada, sebagian aktivis dan simpatisan pro merdeka berpotensi akan mengalami frustasi.

Keempat, di atas kertas, saat ini, Indonesia memiliki hampir semua kartu truf terkait berbagai item isu Papua. Artinya, kalau mau, Indonesia sebenarnya bisa saja bersikap tidak peduli dengan tuntutan apapun dari pihak pro merdeka, dan sambil tetap melanjutkan proses pembangunan di Papua. Karena itu, jika ada aktivis Papua yang mengatakan bahwa “Jakarta” merasa cemas dengan perkembangna situasi politik di Papua, penyataan itu sebenarnya lebih bersifat propaganda. Sebab bagi Jakarta, tak ada yang perlu dicemaskan tentang Papua.

Kelima, kelompok dan simpatisan pro Papua merdeka yang berasumsi/berharap seolah-olah Papua akan segera merdeka “besok pagi”, lebih karena mereka tidak memahami ketujuh tahapan di atas. Pada saat yang sama, kelompok pro Indonesia yang terkesan cemas berlebihan seolah-olah “besok pagi” Papua akan segera merdeka dan lepas dari Indonesia, juga lebih karena mereka tidak memahami ketujuh tahapan di atas.

Keenam, setahu saya, Papua adalah satu-satunya kasus separatis di dunia, yang posisi legal-hukumnya telah diputuskan melalui Resolusi SU PBB (UNGA), yang secara tegas menyatakan Papua adalah bagian dari kedaulatan di Indonesia. Bahkan jika dibandingkan dengan kasus Palestina, misalnya, status bahwa Papua adalah bagian dari Indonesia jauh lebih kuat dibanding Palestina. Sebab dalam kasus Palestina, resolusi DK PBB hanya menegaskan “Two State Solution (Solusi Dua Negara”. Sementara dalam kasus Papua, Resolusi UNGA 2504 tahun 1969 dengan jelas dan terang hanya mengakui “One-State-Solution”, yang berarti bahwa Papua adalah Indonesia.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here